Bagian 4

4.3K 76 0
                                    

Terima kasih, teman yang sudah membaca, like dan vote nya. Boleh komen dan kasih masukan juga kok,maaf kalau masih banyak typo.


"Tiara...kenapa kamu pulang dulu sih?"

"Maaf Mas...aku sudah janji sama bapak untuk pulang cepat,
Mas Hendi tahu dari mana rumahku di sini?"

Hendi tersenyum, dia berjalan menuju pintu rumah dan mengucapkan salam kepada seorang bapak yang dari tadi memperhatikan mereka.

"Maaf Pak, boleh saya main ke sini, saya tertarik dengan putri bapak?"

Tiara yang mendengar ucapan Hendi membelalakkan matanya, jantungnya berdebar kencang mendengar Hendi terus terang sama bapaknya kalau tertarik padanya.

"Silahkan masuk Nak, Tiara apa kamu mau di luar terus?" Tanya bapaknya dengan lembut.

Hendi dan Tiara masuk rumah beriringan, Tiara segera ke kamar menyimpan tas dan keluar lagi membuatkan minum Hendi. Dia sangat heran saat di ruang tamu Hemdi begitu akrab dengan bapaknya, bahkan mereka tertawa bersama.

"Jadi Nak Hendi ini sedang membangun perumahan di kampong sebelah?"

"Iya...Pak, maklum di kota sudah tidak ada lahan lagi sedangkan pertumbuhan penduduk makin meningkat.
Perumahan ini untuk kalangan menengah ke bawah Pak, yang tidak mampu membeli rumah di kota yang harganya selangit karena dikuasai orang-orang berduit."

"Tapi di kampong sebelah Mas Hendi merubah sawah dan kebun mennjadi perumahan, terus kelangsungan hidup mereka bagaimana?" Sahut Tiara sambil menyuguhkan teh hangat di meja.

"Mereka akan tetap bekerja Tiara, dengan uang yang mereka dapatkan dari menjual kebun dan sawahnya bisa untuk membua usaha baru atau membeli sawah dan kebun di tempat lain. Harga tanah yang kami beli melebihi standar biasa kok."

"Tapi pada kenyataannya mereka terlena dengan uangnya dan ujung-ujungnya jadi buruh seperti yang sudah-sudah."

Tiara masih ngotot dengan penjelasannya. Sementara bapaknya hanya senyum saja melihat mereka berdua berdebat.

"Tiara sebaiknya kamu mandi sebentar lagi magrib."

"Iya...Pak."

Tiara masuk ke dalam kamarnya dan menuju kamar mandi sementara Hendi masih meneruskan obrolannya dengan Bapak Tiara. Mereka bahkan pergi ke masjid berdua. Tiara yang mengetahui hal itu jadi bertanya, kenapa tidak pulang sih?

Setelah selesai shalat magrib ibu sangat sibuk di dapur, membuat masakan lebih banyak padahal tidak ada saudara yang mau datang.

"Bu...siapa yang mau datang? Masaknya banyak banget?"

"Temanmu itu lho...Bapak sebelum berangkat ke masjid bilang, siapkan makan malam buat temanmu."

"Mas Hendi mau makan di sini? Dia orang kota Bu, mana doyan masakan kita?"

"Hush...kamu itu, belum tentu kan, yang penting kita siapkan."

"Siapa bilang saya nggak suka masakan kampong? Sudah hampir sebulan saya di sini kok dan makan makanan yang ada di kampung."

Tiara membeku tak berani membalikkan badannya, karena dia tahu persis yang bicara ada di belakangnya. Dia jadi malu bicara begitu.

"Ayo...duduk Nak, Bapak senang kalau kamu mau makan makanan kami yang orang kampung ini."

Tanpa diminta dua kali Hendi duduk di kursi samping Tiara, di depan bapak dan ibunya, sementara Tiara masih diam membeku dengan memegang piring kosong.

Ketika Keikhlasan Cinta DiujiWhere stories live. Discover now