Bagian 9

2.3K 67 0
                                    


"Maaf Pak, saya gagal mendapat restu Mama."

Hendi berkata lirih di depan Bapak Tiara, wajahnya lesu dan pucat. Penampilannya yang biasanya rapi khas ekskutif kini terlihat kusut, kemeja yang dibiarkan di luar celana, lengan yang dilipat sesiku asal menampakkan betapa kacaunya dia saat ini, walaupun tak mengurangi ketampanan dan karismanya.

"Apa yang membuat Mama Mas Hendi tidak menyukaiku?"

"Mama pernah dikecewakan dengan wanita berjilbab, terbawa berita di televisi dan cerita teman-temannya tentang wanita berjilbab. Mungkin jika Mama bertemu langsung dan berinteraksi dengan kamu akan beda ceritanya."

"Maaf...Mas."

Tiara ikut diam dan menunduk, Bapak dan ibu juga masih diam. Bapak masih bingung harus bicara apa karena dia tahu betul Tiara sangat mencintai Hendi, tapi dia juga tahu betul bagaimana menikah tanpa restu orang tua.

"Pak...Bu...saya sangat mencintai Tiara, saya harap Bapak dan Ibu tidak memisahkan kami. Saya akan berusaha untuk mendapatkan restu Mama, mohon do'anya Pak...Bu...."

"Bapak akan bahagia jika Tiara bahagia, semua tergantung Tiara, dia sudah dewasa, Bapak dan ibu akan selalu merestui dan mendo'akannya."

Tiara menatap sendu ke wajah bapaknya, kesedihan terpancar di wajah yang sudah mulai keriput. Ketika menatap wajah ibunya dia temukan mata yang tertahan karena bulir bening yang siap menetes. Tiara merasakan kesedihan itu, tanpa dia sadari tubuh Hendi berpindah, bersimpuh dan memeluk pinggang bapak yang duduk di kursi tuanya.

Tubuhnya bergetar menahan tangis, bapak mengulurkan tangannya mengelus rambut dan punggung Hendi.
Ibu yang dari tadi sudah menahan air matanya tak kuasa membendung air matanya, begitu juga dengan Tiara. Suasana jadi haru, bapak mengangkat kepala Hendi memegang bahunya.

"Sudahlah Nak, Bapak kasih waktu buat kamu, berdo'alah dan tetap berada dijalan-Nya. Karena segala sesuatu, Allah sudah gariskan buat semua makhluknya. Ada yang bisa kita rubah ada yang tidak bisa, yang paling penting kita selalu berusaha yang terbaik."

***
"Mbak Tiara, tunggu."

Pak Agus berlari mendekati Tiara, wajahnya tampak panik, nafasnya memburu setelah mengejar Tiara di depan kantornya.

"Ada apa Pak?"

Tiara menghentikan langkahnya, wajahnya tegang melihat Pak Agus sopir pribadi Hendi berlari mengejarnya. Usianya yang setengah abad membuat nafasnya ngos-ngosan walaupun baru berlari sebentar.

"Mbak Tiara ikut saya ya? Ini tentang Pak Hendi, bahaya Mbak?"

"Bahaya bagaimana Pak?"

"Nanti saya cerita di mobil, ayo Mbak!"

"Tapi saya harus kerja Pak."

"Mbak...saya mohon, atau Mbak akan menyesal seumur hidup."

Akhirnya Tiara ikut dengan Pak Agus, di dalam mobil dia menelpon rekan kerjanya jika hari ini izin tidak maauk kerja.

"Apa yang sebenarnya terjadi Pak?" Tiara bertanya setelah melihat Pak Agus bisa menguasai diri.

"Sudah seminggu Pak Hendi tidak keluar kantor sekaligus kamarnya di sini Mbak. Dia mengendalikan semua kerjaan lewat sms. Bapak paham betul jika Pak Hendi sedang mengalami masa sulit dia akan habiskan waktunya dengan kerja yang tiada henti, makan seadanya dan minum alcohol."

"Sampai begitu Pak?"

"Biasanya seperti itu Mbak, saya tidak tahu untu seminggu ini karena kami semua dilarang masuk ke kamarnya, tapi sesekali kami mendengar beliau berteriak, menangis, terdengar benda –benda pecah tanpa kami tahu harus berbuat apa. Harapan satu-satunya yang bisa membuat dia sadar saat ini adalah Mbak Tiara."

Ketika Keikhlasan Cinta DiujiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang