Bagian 5

2.3K 76 2
                                    

Terima kasih ya teman-teman yang sudah membaca, tinggslksn like, vote and komennya ya. Jangan lupa krisannya.

Sampai malam, Tiara belum sadar juga. Furqan tak hentinya mengaji dan menangis sampai dia lelah dan tertidur dengan menggenggam erat tangan ibunya. Kakek dan neneknya ikut berjaga di pinggir ranjang sebelah. Menggunakan fasilitas kursi buat pasien sebelah yang kosong.

Tepat tengah malam,Tiara mengerjapkan mata, pijar lampu kamar menyilaukan matanya.Tangannya yang terasa pegal berusaha digerakkan tapi pegangan itu begitu erat, dia berusaha menarik tapi tak bisa. Matanya tertuju pada tangan mungil yang menggenggamnya, dia menyadari sesuatu dan tersenyum manis menatap tangan yang memegang sangat erat.

"Bu...."

Merasa ada yang bergerak di tangannya, Furqan bangun dan memanggil nama ibunya, setelah mendapatkan senyuman khas yang sejak tadi pagi tidak dilihatnya dia tersenyum. Melepaskan tangannya dan berganti memeluk sang ibu. Satu tangan Tiara yang tidak diinfus membelai rambutnya.

"Maafkan ...Ibu Nak...."

"Ibu tidak salah Bu, Furqan yang salah, tidak mau dengar Ibu, Furqan tidak mau kehilangan Ibu, biar saja orang mengatakan Furqan anak haram yang penting Furqan masih punya Ibu, kakek dan nenek yang selalu sayang sama Furqan."

Air mata Tiara tumpah mendengar penuturan anaknya, dia jadi tahu sebutan itu, rupanya yang membuat anaknya marah dari kemaren.

"Ibu jangan menangis ya, Ibu harus sembuh."

Tiara menghapus air matanya, dia tersenyum melihat Furqan yang terlihat dewasa sebelum waktunya. Dia memang selalu mendidiknya untuk mandiri, bertanggung jawab dan tidak bergantung pada siapapun. Apa dia salah ya? Pikirnya dalam hati, membuat anaknya dewasa sebelum waktunya.

"Furqan...maafkan ibu Nak, kamu bukan anak haram, papa kamu ada namanya Hendi Dinnulhaq, ST. Papa dan Ibu berpisah ketika kamu masih bayi...."

"Tiara....istirahat saja dulu." Potong bapaknya.

"Tidak ...Pak, Tiara akan ceritakan semuanya pada Furqan agar dia mengerti." Bapaknya hanya mengangguk dan pasrah.

"Saat kami menikah, ibunya papa belum merestui, bahkan sampai kamu lahir. Kamu tahu Nak pentingnya sebuah restu orang tua, makanya Ibu memilih mundur, bercerai dengan papa. Ibu tidak mau menjadi penyebab papamu menjadi anak durhaka, Ibu yakin suatu saat kamu pasti akan bertemu dengannya. Papamu orang yang bertanggung jawab, biaya sekolah kamu sudah disiapkan bahkan untuk kehidupan sehari-hari juga sudah disiapkan dengan memberikan sebidang tanah yang luas untuk Ibu dan kamu, bahkan cukup untuk keluarga besar kita."

Tiara menarik nafas panjang, membayangkan peristiwa beberapa tahun silam, ditatapnya Furqan yang sudah mulai tersenyum.

"Furqan...tahu Bu, Furqan nggak akan mengulangi lagi seperti tadi, sehingga membuat Ibu sakit seperti ini. Furqan tidak mau kehilangan Ibu."

"Ibu tidak akan meninggalkanmu Nak, kecuali Allah berkehendak, Ibu ingin melihatmu bertemu papa, diwisuda dan menikah."

***
Pagi harinya Tiara sudah sampai di kantor lebih pagi dari biasanya, dia meyakinkan bapaknya jika dia akan lebih aman menggunakan angkutan umum daripada harus berduaan dengan lelaki yang bukan muhrimnya.

Tiara tidak mau dapat gunjingan dari para tetangga dan teman kantornya, jika dia terlihat berduaan dalam mobil. Lagipula dia juga belum lama kenal dengan Hendi, justru dia lebih khawatir jika dibandingkan naik angkutan umum.

Tiara senang karena bapaknya lebih memahaminya, dia juga bilang akan membeli kendaraan roda dua untuk lebih memudahkan dia berangkat ke kantor setelah tabungannya cukup.

Ketika Keikhlasan Cinta DiujiWhere stories live. Discover now