Bagian 20

2K 65 0
                                    

Silahkan, vote, like dan komennya ya, teman-teman.

"Pak ... tumben masih rapi, jam segini? Biasanya habis sholat isak langsung ganti kostum tidur?" tanya Tiara sambil mengamati penampilan bapaknya dari atas sampai bawah.

"Mau menyambut tamu dan cucu Bapak," jawabnya santai sambil mendudukkan dirinya di bangku panjang depan rumah.

"Tamunya siapa Pak? Sudah malam juga, mana ada tamu datang jam segini?" protes Tiara.

Tiara mengikuti bapaknya duduk di teras depan. Hari ini, terakhir Furqan masuk sekolah, dia sudah menelpon kalau mau pulang bareng Fadil seperti biasanya.

"Kamu panaskan lagi makanannya, mereka pasti belum pada makan," pinta Pak Ansori pada Tiara.

"Sudah, Pak."

"Buat air panas sana! Biar sudah siap kopinya kalau orangnya datang," pinta bapaknya sekali lagi.Tiara tetap saja melangkah pergi, walau ada keanehan dengan sikap bapaknya.

Dia sudah menyibukkan diri di dapur, sementara ibunya menemani bapaknya di halaman. Lima menit kemudian terdengar suara mobil berhenti. Tiara tahu itu mobil Fadil, pasti anaknya langsung mencarinya ke dapur.

"Bu ... kangen," teriaknya dari depan.

Furqan langsung menubruk dan memeluknya erat, padahal belum satu bulan mereka bertemu ketika ada lomba di sekolahnya. Tiara juga menumpahkan rindunya dengan mencium kening dan pipi anak semata wayangnya tersebut.

"Sudah siap, Tiara? Kita makan bareng." Ibunya bertanya dan mengecek semuanya di meja.

"Sudah, Bu. Tamunya sudah datang?" tanya Tiara dengan melihat ke depan.

"Sudah, bareng Furqan, kan?"

Ibunya kembali ke luar memanggil tamu dan bapaknya. Tiara segera merapikan barang-barang Furqan dan menyuruhnya bebersih di kamar mandi.

Ketika keluar kamar, Tiara kaget karena Fadil sudah duduk manis di meja makan, begitu juga anak dan orang tuanya. Tinggal ada satu kursi kosong di samping Fadil, dengan canggung dia menarik sedikit kursinya agak menjauh baru duduk.

"Makanlah, Nak. Ngobrol seriusnya nanti saja ya, sambil ngopi." pinta bapaknya yang paling semangat diantara semuanya.

"Mau diambilin, Mas?" tanya Tiara memecah kecanggungan mereka.

"Biar aku sendiri saja, kamu saja yang aku ambilin, nasinya kan, ada di dekatku."

"Nggak usah, Mas. Biar sendiri saja," kata Tiara bersikeras, padahal Fadil sudah menyendokkan nasi untuk dirinya dan Tiara, tapi karena Tiara bersikeras jadi kesenggol tangannya dan tumpah.

"Maaf, Mas."

Tiara segera mengambil nasi yang tumpah di meja dan buru-buru ke belekang. Entah apa yang dia lakukan sehingga lama baru kembali. Sementara orangtuanya dan Furqan yang menyaksikan drama tersebut hanya tersenyum simpul.

"Bicaralah kalian berdua! Nak Fadil sudah mengutarakan maksudnya pada Bapak, tinggal keputusan ada di tangan kamu, Tiara," kata Bapaknya.

Mereka bertiga pamit ke rumah tetangga, untuk membicarakan masa panen padi yang sebentar lagi tiba.

Di ruang tamu itu, tinggal Tiara dan Fadil. Di meja tersaji secangkir kopi dan kedelai rebus hasil kebun belakang rumah. Tiara masih diam, menunggu Fadil bicara terlebih dulu. Dia yang duduk di samping memilih melihat berbagai ikan hias yang ada di aquarium. Fadil duduk lurus dengan pintu menghadap ke dalam rumah, tepatnya televisi yang menyala tapi tidak sepenuhnya ditonton.

"Tiara, maaf jika aku sudah melamarmu pada bapak tadi,"ungkap Fadil mengawali pembicaraan. Matanya bertemu dengan mata Tiara yang spontan menatapnya.

Ketika Keikhlasan Cinta DiujiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang