1. Ratu Wihelmina

708 51 9
                                    

Gementee Malang, 1927.

Lukisan ratu Wihelmina yang cantik terpajang dengan anggunnya disetiap ruang tamu orang Belanda atau pun orang bumiputera yang kaya raya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lukisan ratu Wihelmina yang cantik terpajang dengan anggunnya disetiap ruang tamu orang Belanda atau pun orang bumiputera yang kaya raya. Setiap orang mengaguminya bagaikan dewi yang jatuh dari kahyangan, kulit yang putih bagai mutiara dan paras yang cantik bagai pahatan dewi Yunani. Tetapi tidak denganku. Selain fakta dia cantik, tinggal di dalam istana di Nederlands dan memerintah Hindia-Belanda, tahu apa ratu tentang kehidupan di Hindia-Belanda, khususnya di Malang? Tahu apa tentang bapakku yang difitnah oleh orang-orangnya? Tahu apa tentang hidupku yang setiap hari makan nasi tiwul?

Tanpa basa-basi langsung kuguyur kepalaku dengan segayung air sumur yang aku timba tadi. Kubiarkan sensasi segar dan dingin membasuh kulit cokelatku. Masih pagi dan aku sudah memikirkan hal-hal yang berat seperti itu.  Setelah selesai mandi segera aku duduk diatas dipan (tempat duduk yang terbuat dari anyaman bambu) dan memakan sarapan yang sudah disiapkan oleh ibu. Sepiring nasi tiwul  serta sayur kangkung sisa kemarin malam aku makan dengan lahapnya. Kehidupan dari seseorang waker (penjaga perkebunan tebu) tidaklah seindah kontrolir ataupun mandor. Tetapi apalagi yang dapat bumiputera lakukan selain hanya menjadi bawahan.

Bapak sudah pergi ke perkebunan tebu. Ibu juga telah pergi mencari kayu bakar untuk masak. Dan aku juga akan berangkat ke AMS (Algemene Middelbare School/ sekolah setingkat SMA). Sekolahku juga yang menjadi alasan besar dari kekurangannya keluargaku. Meskipun sekolah AMS  dibuka untuk bumiputera tetapi bumiputera harus membayar lebih. 20  florin (gulden) setiap bulannya. 20 florin jika dibandingkan dengan uang bulanan Belanda totok (asli) senilai 45 florin memang tidak ada apa-apanya. Tetapi dengan gaji bapak senilai 50 florin setiap bulan, itu pun kalau tidak dipotong gaji sudah cukup mencekik keluargaku.

Dengan kebaya putih sederhana dan jarit (kain batik yang dipakai menjadi rok) aku pergi ke AMS tanpa menggunakan alas kaki. Setiap murid harus berpakaian sesuai dengan adatnya, orang bumiputera harus mengikuti adatnya. Tidak boleh meniru orang Eropa dengan pakaian kain serta sepatu untuk melindungi kaki kecuali keluarga bangsawan dan petinggi gementee. Karena tidak kuat menyewa andong (dokar) alhasil setiap pagi aku harus berjalan kaki dari daerah Prahoestraat ke daerah Coenplien Jan Pieter selama 45 menit.

"berangkat, nduk?" sapa tetanggaku Mbok Sanikem yang sedang menyapu halaman rumahnya dengan sapu lidi.

"iya, Mbok!" seruku kembali sembari terus melanjutkan jalanku menuju Idjen Boulevard. Sebuah jalan ekslusif dimana rumah bergaya Eropa berjajar rapi dengan tuan Eropa yang berpakaian rapi pula, tidak kekurangan satu pun kecuali rasa belas kasih.

Lalu tiba-tiba kudengar anjing menggonggong dari salah satu rumah  saat melihat kehadiranku, membuat tuan Eropa yang sedang menggendong anjing juga ikut menggonggong padaku,

"shu shu! Pergi kowe!" usirnya dengan bahasa melayu yang terbata. Dengan spontan  aku mengangguk dan langsung lari dari hadapannya. Rasanya aku begitu patuh terhadap perkataannya. Mungkin itu telah mengalir di darah bumiputeraku.

Selain mengatur nafasku yang terengah-engah, tidak ada yang menarik selama 45 perjalananku menuju AMS.

"Selamat pagi, Laras" Sapa teman sekelasku dari andongnya. Minah pun langsung menghampiriku setelah turun dari andongnya dengan sebuah senyuman yang manis.

"Selamat pagi" balasku pada seorang anak administrator di kantor listrik Malang tersebut. Meskipun dia termasuk ke dalam jajaran orang yang cukup kaya tetapi sekolah HBS (setara dengan AMS) tidak akan menerimanya. Sekolah HBS hanya diperuntukkan bagi anak Belanda totok, indo dan bumiputera bangsawan.

Kutengok sebentar sekolah HBS yang tepat berada disamping AMS, orang Belanda turun dengan gagah dan anggun dari andongnya yang jauh lebih cantik dari milik Minah. Tidak tertinggal anak walikota Gementee Malang bernama Raden Mas Tjokro yang berpakaian bumiputera tetapi dengan gaya Eropa. Beskap beledu biru dengan jam bandul kecil emas serta sepatu beledu hitam tampak mencolok mata dari pakaian bumiputera lainnya. Bisa dibilang dia adalah satu-satunya bumiputera yang sekolah di HBS.

Lonceng sekolah AMS pun berbunyi, segera aku dan Minah masuk ke dalam kelas meninggalkan pikiranku tentang gaya berpakaian Raden Mas Tjokro. Tidak lama kemudian guruku yang langsung didatangkan dari Belanda datang membawa sebuah artikel dari sebuah koran Belanda.

"Goedemorgen" sapanya dalam bahasa Belanda. Lalu pelajaran dimulai dengan artikel koran tadi,  "Ratu Wihelmina Memperadabkan Hindia-Belanda dengan Politik Etis".

Lagi-lagi bahasan mandi pagiku tentang Ratu Wihelmina terangkat kembali. Kini tidak hanya kecantikannya saja yang harus aku puja, melainkan memperadabkanku dengan sekolah yang mahal dan membedakanku dengan orang Eropa juga harus aku puja. Dan lagi-lagi aku pun bertanya, tahu apa ratu Wihelmina tentang aku yang harus makan nasi tiwul untuk dapat sekolah?




_____________________________

*Gementee= kabupaten
*Bumiputera= pribumi (tapi kata ini udah gak boleh dipakai lagi)

Fiksi sejarah pertama gue karena gue came from jurusan sejarah. Gue suka banget sama cerita berbau kolonial belanda, terlebih pergerakan nasional saat Indonesia mulai terbuka masalah keseteraan hak. Plus gue dari Malang jadi ambil setting di Malang.

Semoga kalian suka sebagaimana gue suka, don't forget to leave your votes and comments

Kalo bingung apa mau tanya2 I'll answer it with pleasure

Bara Jiwa : historical fictionWhere stories live. Discover now