3. Podo-podo Bumiputera

285 36 0
                                    

"Gimana Panji? Sepertinya dia menyukaimu" tanya temanku, Minah. Aku hanya meliriknya, tidak terlalu menaruh perhatian pada Minah atau pun lelaki bernama Panji tersebut. Panji merupakan teman sekelasku, seperti Minah dia juga merupakan anak seorang administrator. Tetapi bapak Panji merupakan administrator perkebunan kopi.

"Shssttt ayo pulang!" seruku pada Minah yang sedari tadi terus menanyaiku tentang Panji.

Aku tidak memiliki waktu untuk urusan semacam itu, waktuku tersita memikirkan alasan kenapa bapak melarangku untuk menjenguk Roebiam lagi. Memang tidak secara terang-terangan melarang tetapi dibalik kalimat "Mben maneh gak usah melok ndelok Biam" (besok lagi tidak perlu ikut menengok Biam), jelas sudah jika bapak melarangku. Tetapi kenapa?

"Ya sudah, Ras. Aku pulang dulu yo!" seru Minah saat melihat andongnya datang menjemput dan pergi meninggalkanku.

"Iyo, ati-ati!"

Lagi-lagi aku harus berjalan selama 45 menit menuju rumahku ditengah terik panas matahari tanpa menggunakan alas kaki. Aku menghembuskan nafasku dengan berat, seharusnya aku bersyukur karena aku masih bertahan hidup hingga 4 tahun setelah kejadian mengerikan itu. Jika tidak, mungkin aku telah berada di kubur bersama malaikat Munkar dan Nakir. Dan hanya ada satu orang yang menyesali aku masih tetap hidup dan terus merepotinya di dunia ini.

Hari ini, telah aku putuskan untuk pulang lewat perkebunan kopi saja, karena selain lebih rindang nanti aku dapat mampir untuk minum di sungai.

"Maaf, Meneer" (maaf, Tuan)

Suara ringkihan dari salah satu pekerja kebun membuatku terperanjat dari pikiranku. Kulihat seorang kakek sedang memohon maaf pada seorang kontrolir Tuan Eropa, dengan 2 keranjang kopi dibiarkan begitu saja di tengah sungai. Tetapi sebenarnya yang membuatku lebih terkejut adalah kehadiran sosok Raden Mas Tjokro berdiri di belakang wong Londo (orang Belanda) tersebut.

Apa yang sedang dilakukannya?

Aku putuskan untuk bersembunyi diantara semak-semak dan melihat kejadian ini sebentar.

"Deloken iki kopine!" (lihat ini kopinya!) bentak Tuan Eropa menunjuk ke arah sungai.

"Saya tidak sengaja jatuh ke sungai, terp-peleset, Meneer" jelas kakek tua tersebut dengan nada pelan.

"Aku tidak urus denganmu! Kopiku jatuh ke sungai dan aku rugi!" teriak tuan Eropa dengan nada yang semakin tinggi.

"1 pikul kopi 50 gulden dadi kowe duwe utang 150 gulden" (1 pikul kopi 50 gulden jadi kamu punya hutang 150 gulden) jelas Tuan Eropa pada kakek-kakek tersebut.

Sebentar,

"Dadi kowe gak entok gaji 3 ulan gawe ganti rugi" (jadi kamu tidak dapat gaji 3 bulan untuk ganti rugi).

"Tapi...Meneer" pinta kakek tersebut keberatan, air mata pun mulai menuruni pipi keriputnya.

Sebentar,

1 pikul kopi harganya 50 gulden dan kakek tersebut menumpahkan 2 pikul kopi ke dalam sungai. Bukankah kakek tersebut hanya perlu membayar 100 gulden saja?. Aku terkekeh pelan menyadari betapa liciknya dia.

Inilah alasan kenapa aku ingin sekali bersekolah, agar tidak dapat dibohongi atau pun dibodohi oleh orang-orang Eropa yang keji. Mereka mengganggap bangsaku bodoh bahkan disamakan dengan hewan. Memang apa kemegahan candi Borobudur dan candi Prambanan tidak dapat mengalahkan kastil dan katedral di Eropa? Memang kekuasaan Majapahit di Nusantara hingga ke wilayah Asia tidak sehebat kekuasaan Nederlands?

Kulihat Raden Mas Tjokro diam saja disana tidak menunjukkan ekspresi apapun. Tidak bergeming. Tidak membela kakek tersebut sebagai masyarakat gementee Malang, sebangsa bumiputera atau pun sebagai orang tua.

"Tunggu!" seruku pada Tuan Eropa dan Raden Mas Tjokro yang melangkah pergi.

Sontak dua lelaki tersebut melihat ke arah suaraku berasal. Mata hitam Raden Mas Tjokro melihatku dengan ekspresi terkejut. Kemudian dapat kurasakan mata biru milik Tuan Eropa melirikku dengan sinis.

"Sopo kowe?!" (siapa kamu?!) tanyanya dengan nada mengejek.

"Laras" jawabku singkat.

Kulirik kembali Raden Mas Tjokro yang membuat gerakan mulut "lapo kowe?" (sedang apa kamu?). Tetapi aku tidak mempedulikannya seperti dia tidak mempedulikan kakek yang tersimpuh di sampingku.

"Meneer bilang 1 pikul kopi seharga 50 gulden. Seharusnya kakek ini membayar 100 gulden" ujarku percaya diri tetapi ada sedikit ketakutan disana, "apa hitungan anda tidak salah, Meneer?"

Senyuman sinis tersungging di bibir Tuan Eropa "Sudah pintar kowe, nyet", balasnya begitu kasar.

Aku tertegun. Panggilan itu kembali lagi.

"Shu shu pergi kowe! Aku tidak punya urusan denganmu, monyet!"

Aku tertegun untuk kedua kali karena ucapannya. Itulah panggilanku dan seluruh nenek moyangku. Seharusnya aku tidak terkejut dengan perangai orang Eropa sepert itu. Aku pernah melawan orang Eropa dan aku tahu betul setiap ucapan kasar yang akan dia lontarkan untuk menghinaku.

"Memang tidak" balasku, "tapi kakek ini iya. Dia tidak bisa menghitung dan bukan berarti dapat Meneer bohongi"

Dapat kulihat kepalan tangan tuan Eropa semakin kuat. Sebelum amarahnya meledak seperti meriam buru-buru Raden Mas Tjokro berlari dan menarik tanganku untuk berdiri di belakangnya.

"Het spijt me meneer, hij heeft alleen medelijden met de grootvader. Hij bedoelde niets" (maafkan aku Tuan, dia hanya kasihan pada kakek tersebut. Dia tidak bermaksud apa-apa) jelas Raden Mas Tjokro dengan bahasa Belanda. Dia kira aku tidak mengerti setiap kata yang diucapkannya.

"zorg voor je mensen!" (urusi rakyatmu!).

Tuan Eropa pun melangkah pergi tanpa melihat ke arah kakek yang hidupnya baru saja ia hancurkan. Begitu juga halnya dengan Raden Mas Tjokro yang melangkah pergi tanpa menengok ke arahku-masyarakat gementee Malang, bumiputera, monyet.













______________________________________
kira-kira apa yang terjadi sama masa lalu Laras? 4 tahun yang lalu

Bara Jiwa : historical fictionWhere stories live. Discover now