2. Roebiam

364 38 2
                                    

Aku meletakkan buku sastra Belanda yang baru saja aku baca dengan perasaan tidak bersemangat. Tidak ada yang menarik di dalamnya, sekalipun terdapat lukisan lelaki Eropa yang gagah disana tetap hatiku tidak tertarik dengannya.  Hari ini hatiku telah berlabuh pada adik perempuanku, Roebiam. Setelah hampir 2 bulan tidak bertemu akhirnya keluargaku akan menjenguknya.

"Nduk, bantu ibu bakar singkong!" teriak ibu dengan kencang bahkan terdengar hingga rumah bagian depan.

Segera aku melangkahkan kakiku menuju pawon (dapur) untuk membantu ibu. Singkong bakar hasil kebun ini akan dibawa sebagai buah tangan untuk mbah Dasuki dan Parjiah. Sepasang kakek nenek baik hati yang telah merawat Roebiam selama bertahun-tahun tanpa meminta imbalan. Bapak bilang jika ia tidak kuat menghidupiku dan Roebiam bersamaan. Apalagi karena  sekolahku, maka dari itu bapak harus menitipkan Roebiam pada orang lain.

Sambil menunggu singkong bakar matang aku membungkus  pisang godok (rebus) yang telah dimasak ibu. Hanya singkong bakar dan pisang godok inilah yang dapat dibawa oleh keluargaku. 

Beberapa saat kemudian kudengar suara ringkikan kuda berada diluar, pasti andong sewaan bapak telah datang. Bapak tidak pernah mau menyewakan andong untukku berangkat sekolah. Tetapi untuk Roebiam, beda urusan.

"Wes siap kabeh iki?" (sudah siap semua ini?)

Tanya bapak memasuki rumah dengan pakaian kerjanya yang lusuh dan sebuah clurit di tangan kanannya. Bekas menjaga perkebunan tebu semalam.

"Wes pak" (sudah pak) jawab ibuku sembari menenteng wadah anyaman bambu.

Setelah menunggu bapak ganti baju akhirnya andong sewaan bapak berjalan menuju rumah mbah Dasuki dan Parjiah. Selama perjalanan aku memilih untuk diam, begitu juga halnya dengan ibuku dan bapakku. Hampir selama 4 tahun aku tidak pernah berbicara santai dengan bapakku. Kita berdua hanya bicara hal-hal yang penting saja. Hal-hal penting itu contohnya seperti "makan sudah siap" atau "bekal bapak di meja", tidak lebih dari itu.

"Ayo mudun!" (ayo turun!) seru bapakku membuyarkan pikiranku tentangnya. Ternyata kita sudah sampai di rumah mbah Dasuki. Aku pun segera turun dari andong dan membantu ibuku membawa buah tangan yang dibungkus ke dalam besek (wadah dari anyaman bambu).

"Nduk Yam?!" seru bapak dari luar dan keluarlah Roebiam dari dalam rumah kayu dengan raut wajah yang begitu gembira. Dia berlari dan langsung memeluk ibu dan bapak dengan erat.

Setelah mengobrol dan lepas kangen dengan ibuku beberapa menit Roebiam menyadari kehadiranku. Kemudian ia menghampiriku.

"Mbak Yu" panggil Roebiam yang langsung aku balas dengan pelukan.

Bapak dan ibu memutuskan untuk mengobrol bersama mbah Parjiah di belakang rumah sehingga Roebiam mengajakku untuk pergi ke kamarnya.

"Mbak yu, buku ne endi?" ( mbak, bukunya mana?) tanya Roebiam padaku. Mataku langsung terbelalak mendengarnya, aku lupa.

"Ya Allah! Lupa aku!" teriakku merasa bersalah. Dua bulan yang lalu aku memang janji pada Roebiam untuk membawakannya buku tentang Ratu Wihelmina dengan bahasa melayu.

Aku tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalaku, betapa tidak punya malunya diriku ini. Bisa-bisanya aku yang tidak menyukai ratu Wihelmina malah memberikan bacaan tentang ratu Wihelmina  pada adikku. Untuk dibaca dan untuk dikagumi. Tetapi setidaknya dia dapat mengambil sisi baik dari ratu muda tersebut. Cantik dan dapat memerintah negara Nederlands serta menyiksa seluruh tanah jajahannya termasuk Hindia-Belanda.

"Maafin mbak yu, yo" ucapku, "kalau kesini lagi aku bawa"

Senyuman kecil merekah di wajah Roebiam, membuat senyuman juga merekah di wajahku. Kemudian Roebiam mengeluarkan buku tulis dan sebuah pensil pemberianku dari dalam laci mejanya.

"Ajari aku boso Londo yo, mbak yu" (ajari aku bahasa Belanda ya, mbak) bisik Roebiam padaku.

Roebiam hanya lulusan sekolah Ongko Loro (angka dua). Sekolah untuk bumiputera tentang membaca,tulis, dan hitung. Tetapi meskipun begitu dia memiliki semangat yang tinggi untuk sekolah sama sepertiku. 1 tahun lagi aku akan lulus dan saat itulah Roebiam dapat pergi ke sekolah. Meskipun sedikit telat tetapi guruku bilang "tidak ada kata telat untuk belajar".

Dengan senang hati aku tuliskan beberapa kata dasar di buku tersebut. Ada aku, ayah, ibu, kakek, nenek, kamu, kita dan sebagainya. Setelah selesai aku coba mengajari Roebiam mengucapkan kata-kata tersebut.

"Ik" ucapku, "artinya aku"

"Ik?" ujar Roebiam sedikit ragu.

"Ya, benar. Terus selanjutnya?"

"Vader artinya bapak"

Aku menganggukkan kepalaku menandakan apa yang diucapkan Biam benar. "Bagaimana kalau aku bawakan kamus bahasa Belanda saja?" tawarku.

Adikku mengangguk. Dia selalu menerima dengan senang hati apapun yang aku bawakan ketika aku berkunjung. Tetapi yang paling membuatnya senang adalah ketika aku ceritakan dia tentang sekolah. Bertemu dengan teman-teman dan guru akan bercerita tentang kemajuan-kemajuan Eropa serta dunia yang belum ada di Hindia-Belanda. Karena selama hidup disini Roebiam hanya dirumah membantu mbah Dasuki dan Parjiah. Oleh karena itulah aku selalu membawakannya buku atau pun koran berbahasa melayu untuk dibaca.

Tidak terasa hari mulai sore sampai kulihat sosok bapak dengan raut wajah yang masam masuk ke dalam kamar. Matanya mengarah pada buku dan pensil yang berada ditangan Roebiam.

"Ayo moleh!" (ayo pulang) seru bapak padaku.

Aku pun langsung mengikuti kata-kata bapak tanpa banyak tanya. Aku pamitan terlebih dulu pada Roebiam, kemudian pada mbah Dasuki dan Parjiah yang sudah berada di depan rumah. 2 bulan lagi aku akan kembali kesini.

Selama perjalanan pulang aku putuskan untuk diam seribu bahasa seperti waktu berangkat tadi. Tetapi sayangnya tidak dengan bapakku.

"Ras?" panggil bapak yang langsung membuatku menoleh ke arahnya.

Mata hitamnya benar-benar hitam sampai-sampai langit sore menjelang maghrib juga ikut menghitam.

"No-nopo, Pak?" (apa, pak?) tanyaku terbata.

"Mben maneh gak usah melok ndelok Biam" (besok lagi tidak perlu ikut menengok Biam)













______________________________________

lanjut atau tidak ya?

Bara Jiwa : historical fictionWhere stories live. Discover now