7. Panji lan Laras?

225 25 4
                                    

Di tengah suasana pagi yang masih sepi dan bapak belum pulang dari perkebunan tebu tiba-tiba saja aku dan ibu mendengar suara sepatu kuda berlari.  Suara tersebut semakin dekat dan dekat hingga kemudian berhenti tepat di depan rumah, membuat  ibu langsung berdiri dari kursinya.

Dengan semangat ibu pun berjalan ke depan rumah untuk menengoknya. Mungkin saja itu bapak dan andong sewaannya untuk menjenguk Roebiam.

Aku memilih tidak menemui bapak dan melanjutkan makan pisang godok dengan tenang di belakang rumah karena aku sebenarnya telah menjenguk Roebiam kemarin siang. Lagi pula aku telah dilarang bapak untuk menjenguk Roebiam.

"Nduk! Nduk!" (panggilan untuk anak perempuan) teriak ibuku dengan keras dan juga penuh semangat, "cepat ke sini!"

Aku pun langsung berdiri dari bangku kayu dan menemui ibu di depan rumah tanpa banyak tanya.

"Ada apa, bu?" tanyaku.

Kedua mataku terbelalak ketika melihat sosok Panji telah berdiri di depan pintu rumahku dan bukannya bapakku.

"Ikiloh onok nak Panji" (ini ada nak Panji)

"Loh lapo?" (loh sedang apa?) tanyaku singkat. Apa yang dilakukan Panji pagi-pagi ke rumah?

"Kok 'loh lapo' dipirakno ta, Nduk" (kok 'loh ngapain' ya dipersilahkan masuk, Nduk) tegur ibuku.

Aku pun tersenyum kecil mendengar teguran ibuku dan segera mempersilahkan Panji masuk ke dalam rumah. Kulihat ibuku sudah kembali dari dapur dengan secepat kilat membawa pisang godok tadi untuk Panji.

"Tidak perlu repot-repot, Bu. Sampun sarapan kulo" (sudah sarapan saya) ujar Panji ketika ibu menaruh sepiring pisang godok tersebut di atas meja.

"Yo ora opo-opo sarapan meneh, kan bedo sarapane" (ya tidak apa-apa sarapan lagi, kan sarapannya berbeda)

Panji hanya tersenyum dan malu-malu mengambil pisang godok kesukaannya. Tepat sekali ketika Panji kesini terdapat makanan kesukaannya pisang godok. "Wah enak, Bu. Legi. Maturnuwun nggeh" (wah enak, Bu. Manis. Terimakasih)

Setelah mengobrol ringan mengenai sekolah sambil menghabiskan 2 buah pisang godok, aku dan Panji pun akhirnya berangkat sekolah. Setelah berpamitan dengan ibu segera aku menuju andong Panji di depan.

"Sugeng Enjang" (selamat pagi) sapaku pada Pono yang telah duduk di atas andong milik Panji, dengan senyuman yang lebar Pono menyadari kehadiranku.

"Sugeng Enjang, Den Ayu" balasnya.

Segera Panji naik ke andong terlebih dahulu dan membantuku untuk naik selanjutnya. Setelah yakin kita telah duduk Pono pun segera menjalankan andongnya menyusuri jalan kampung yang mulai ramai.

"Kenapa ke rumah pagi-pagi?" tanyaku pada Panji. Pandangannya ke jalan berpindah melihatku.

"Untuk jemput kamu ke sekolah" jawabanya singkat.

Aku tersenyum tipis tetapi segera menepisnya dengan menggelengkan kepalaku. Untuk sampai ke rumahku saja Panji harus melewati sekolah, dia jadi memutar-mutar.

"Lain kali tidak perlu, Nji. Aku bisa jalan" elakku merasa kasihan pada Panji.

"Aku tidak ingin melihatmu dengan Raden Tjokro" balasnya.

Mataku terbelalak kembali mendengar Panji menyebutkan nama Tjokro. Bagaimana bisa dia tahu? Aku masih terdiam dibuatnya. Masih bingung mau menjawab apa.

"Aku tahu dari Pono kemarin" jelas Panji, "dia melihatmu"

Aku melirik Pono yang masih fokus mengendarai andong. Lalu kembali melihat ke wajah Panji yang tidak menunjukkan ekspresi apapun. Marah tidak, senang juga tidak. Datar.

"I-iya kemarin Tjokro menawariku untuk naik andongnya. Dia mengantarkanku ke Roebiam" jelasku pada Panji.

Panji kembali terdiam. Apa yang terjadi dengannya? Segera aku merubah topik pembicaraan.

"Besok tidak perlu menjemputku lagi ya, Nji. Jadi muter-muter"

"Wes talah, ora popo" (sudahlah, tidak apa-apa) ujar Panji begitu santai. Seperti tidak memeperhatikan kata-kataku.

"Nji, aku iki serius" (Nji, aku ini serius)

"Aku yo serius" (aku juga serius) jawab Panji singkat, "aku mesti serius gawe wong seng tak senengi" (aku selalu serius untuk seseorang yang aku sukai)

_______________________________


Bara Jiwa : historical fictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang