5. Nyai Laras lan Tuan Robert

256 28 1
                                    

Sepulang sekolah Panji mengajakku untuk mengerjakan tugas sekolah di rumahnya yang berada di daerah Malang kota Lama. Rumah kayu tingkat tersebut terlihat sangat besar jika dibandingkan dengan rumahku. Wangi bunga sedap malam pun semerbak di setiap sudut rumah.

Seperti yang Panji janjikan padaku, rak buku yang cukup besar bagi kalangan bumiputera dapat kita berdua baca bersama. Rak buku tersebut tersimpan di ruang kerja milik bapak Panji yang bekerja sebagai administrator perkebunan kopi. Meskipun pekerjaan bapaknya tidak menuntut untuk banyak membaca tetapi sepertinya keluarga Panji suka sekali untuk mengkoleksi buku dan juga membacanya.

Setelah beberapa menit membaca buku dan mencari ide untuk tugas sekolah tulisan tentang Hindia-Belanda, aku masih belum dapat menemukan jalan keluarnya.

"Mau membahas apa, Ras?" tanya Panji yang duduk didepanku. Aku jawab dia dengan sebuah gelengan kepala yang pasrah.

"Belum ya? bagaimana kalau kita membahas Nyai?"

Sontak aku langsung melihat Panji dengan tatapan yang tajam, rasanya kedua bola mataku nyaris meloncat. Jantungku saja juga sudah berdetak dengan kencang.

"Kenapa?" tanyanya karena terkejut dengan respon yang aku berikan. Aku menggelengkan kepalaku pelan dan memberikan senyum kecil, "tidak apa-apa" jawabku berbohong.

Ada sebuah luka yang kembali tergores ketika mendengar kata"Nyai" menggema di telingaku. Tetapi aku mencoba untuk tetap bersikap biasa saja di depan Panji, tidak ingin mengundang rasa penasarannya.

"Bagaimana kalau kita membahas tentang Aloen-Aloen Malang saja?" tanyaku. Aloen-Aloen kota yang ditujukan bagi orang Eropa kini telah diambil alih oleh orang bumiputera untuk berkumpul. Menonton ludruk sampai makan gulali dan minum kopi dilakukan di Aloen-Aloen.

"Hm menarik juga" ucap Panji sebelum akhirnya bibirnya kembali terbuka dan menawariku ide gilanya menulis tentang Nyai, "tetapi sepertinya menulis Nyai dan pergundikan lebih menarik"

"Menarik?" tanyaku keheranan. Pandangan risih jelas tergambar di wajahku. "Menarik ketika kamu pikir Nyai hidup dengan Tuan Eropa karena keinginan mereka berdua. Nyai selalu dipaksa dan bahkan ketika umur mereka masih muda. Kamu tidak tahu bagaimana perlakuan Tuan Eropa pada Nyai"

Kutatap mata Panji begitu tajam dan juga dalam.

"Pergundikan apanya? lebih pantas disebut perbudakan"

Panji terdiam seribu bahasa mendengarkanku berbicara dengan berapi-api. Dia membuang pandangannya pada buku yang sedang ia baca.

"Panji! Nak Laras ayo makan dulu!" seru ibu Panji secara tiba-tiba masuk ke dalam ruangan membuat kita berdua begitu terkejut tetapi juga bersyukur karena ibu Panji memecah keheningan yang terjadi diantara kita berdua, "nanti setelah makan antar Laras pulang dengan Pono ya"

Aku dan Panji pun makan bersama di ruang makan dengan hidangan yang telah disiapkan oleh ibu Panji, rawon. Sebuah makanan lezat yang jarang sekali aku makan.

"Sudah berapa tahun aku tidak pernah makan rawon? atau tidak pernah?" tanyaku dalam hati.

"Ayo dimakan, Nak" ucap ibu Panji yang berdiri dibelakang tempatku duduk.

"Iya, Bu. terimakasih" balasku, "saya jadi merepotkan saja"

"Jarang-jarang Panji membawa temannya berkunjung ke rumah. Apalagi temannya cantik seperti nak Laras"

Senyuman pun mengembang di wajahku dengan rona merah. Tersipu oleh kata-kata manis ibu Panji. Biasanya hanya ibuku saja yang memujiku. Setelah itu ibu Panji meninggalkanku dan Panji untuk makan sedangkan beliau pergi keluar untuk mengurusi rumah belakang sebelum bapak Panji pulang.

Bara Jiwa : historical fictionWhere stories live. Discover now