8. Wanita Publik

81 16 5
                                    

Aku masih di depan AMS menunggu andong milik Panji datang menjemput, di bawah pohon beringin yang besar ini Malang terasa begitu dingin.

"mau pulang bersama Panji ya?" tanya Minah yang tiba-tiba saja berada di belakangku. Aku hanya tersenyum kecil mendengar perntanyaannya, "kau suka dengan lelaki manis kumis tipis itu ya?"

Mataku terbelalak mendengar pertanyaan kedua Minah. Kini gadis yang jatuh hati pada hati tersebut telah kehilangan akalnya sembari tersenyum dengan lebar.

"ora! (tidak!)" teriakku mengelak.

Minah hanya tertawa mendengarkan penolakanku, kemudian dia taruh telapak tangannya yang dingin di atas punggung tangan kiriku sembari memberiku senyuman tipis cantiknya, "tidak apa, berbahagialah sedikit"

Kemudian kakinya melangkah pergi menaiki andong miliknya dan meninggalkanku yang termenung dengan sejuta pertanyaan serta senyuman. Malang memang memiliki suhu yang dingin tapi apa dapat membuatku sampai membeku seperti ini? 

"Laras?" kudengar suara laki-laki memanggil namaku dan membuyarkan lamunanku. Kain beledu hitam kali ini, siapa lagi pemilik kain mahal tersebut jika bukan Raden Mas Tjokro. 

"Raden" panggilku.

"lupa lagi sepertinya, kau sudah pikun seperti mbah Parjiah" candanya yang membuatku tersenyum simpul.

"iya, Tjokro ada apa?" ucapku lagi, dengan benar kali ini.

"kan terdengar lebih akrab jika begini" balasnya sambil tertawa pelan, "tidak, aku hanya ingin memberimu suratku"

Tjokro mengulurkan secarik kertas cokelat yang ia lipat, meskipun sedikit bingung tapi aku mengambil dari genggaman tangannya dan tanpa berkata apa pun dia langsung pergi meninggalkanku sama seperti yang Minah lakukan membuatku semakin membeku. Surat apa ini? kenapa Tjokro tidak bilang apapun padaku dan langsung pergi begitu saja?

Aku terus menatapinya hingga sampai Panji datang dengan Pono bersama andongnya.

"Laras, mari!" seru Panji yang langsung membuatku beranjak menghampirinya. Perjalanan menuju rumah kali ini sepertinya akan dipenuhi dengan Minah dan Tjokro yang bersikap aneh padaku. Tapi aku salah, selama 20 menit berlalu aku terus tertawa mendengar Panji  menceritakan berbagai cerita mengenai keluarganya yang begitu bahagia hingga akhirnya aku dan Panji pun sampai di rumahku. Dia membantuku turun dan mengantarkanku hingga depan pintu rumah.

"Matur s-"

"Oalah iki ta arek e?" (oalah ini anaknya?) tanya bapak yang tiba-tiba saja muncul dari dalam rumah membuat aku dan Panji kaget setengah mati.

"bapak?!" seruku dengan jantung yang berdetak dengan kencang, jarang sekali bapak berada di rumah siang hari seperti ini biasanya bapak berada di kebun tebu kalu tidak akan bermain sabung ayam di lapangan.

"ikita wanita publik seng dadi bahan omongan iku? (ini kah wanita publik yang menjadi bahan omongan itu?)" 

Tubuhku membeku mendengar ucapan bapak yang menyebutku sebagai wanita publik, pelacur. Badanku tidak dapat bergerak bahkan aku tidak dapat mendengar percakapan antara Panji dan Bapak yang jika aku lihat dari gerak mulutnya seperti sebuah teriakan. Dunia tetap berputar tetapi yang aku rasakan malah sebaliknya hingga tanganku ditarik kasar oleh bapak untuk masuk ke dalam rumah.

Aku tak berdaya.

________________________________________________________________________________

*Wanita Publik : sebutan wanita pekerja seks, istilah ini bersal dari mereka yang bebas dimiliki pria yang membayarnya.

HALOOO jumpa lagi :) pls komen dong kalo masih ada yang baca thanks <3

Bara Jiwa : historical fictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang