4. Wayahe Ngelawan Londo

253 32 0
                                    

"Bagaimana kalau berpasangan denganku?" tanya Panji yang membuatku sedikit terkejut. Tugas kali ini memang dikerjakan secara berpasangan, tetapi aku tidak berencana untuk berpasangan dengan Panji. Aku sama Minah saja.

"Aku sama Minah" jawabku.

"Apa? Tidak, aku sama Karsini" ujar Minah ketika menyadari namanya aku panggil. Senyuman pun menghiasi wajahnya.

Aku melirik Minah tajam, bagaimana bisa dia menghianatiku seperti itu. Membuat bibirku manyun hingga beberapa sentimeter ke depan.

"Iya, Nji" jawabku mengiyakan ajakannya. Akhirnya aku pun berpasangan dengan lelaki manis dan berkumis tipis tersebut. Bisa kubilang kulitnya secokelat kulitku tetapi pastinya lebih bersih dan rapi dari diriku yang hanya anak seorang waker ini.

Panji duduk disampingku sembari membawa buku dan pensil dari mejanya. Tugas membuat tulisan tentang Hindia-Belanda harus aku selesaikan beberapa hari kedepan dengan Panji.

"Mau membahas apa?" tanyaku.

Panji tidak membalas pertanyaanku. Dia malah mendekatkan wajahnya ke wajahku, apa yang sedang ia lakukan?

"Kemarin, kau melawan Eropa?" bisiknya.

Jantungku berhenti untuk beberapa detik setelah mendengar pertanyaannya. Bagaimana bisa dia tahu tentang kejadian kemarin di perkebunan kopi? Aku melawan perintah seorang mandor tuan Eropa dan parahnya di depan anak gementee Malang, Raden Mas Tjokro. Aku melirik ke arahnya, mata kita pun bertemu, dan saat itu kusadari jika mata hitam Panji tampak bersinar siang ini.

"Aku suka wanita yang pemberani" imbuhnya.

Sontak aku langsung memalingkan wajahku dan menundukkan kepalaku dengan malu.

"Mati aku" desisku meruntuki diriku sendiri, lupa kalau bapak Panji adalah administrator di perkebunan kopi kemarin. Tentu saja dia tahu kejadian kemarin dari bapak atau pekerja lainnya.

Aku pejamkan mataku dengan penyesalan, apa setelah ini aku akan dilaporkan oleh pihak perkebunan atau tuan Eropa kemarin ke pengadilan bumiputera?

"Ma-maafkan aku" ujarku terbata, raut ketakutan jelas terlukis di wajahku.

"Kenapa perlu minta maaf? Kau kan tidak salah"

Aku tertegun mendengarnya. Kulirik Panji kembali. Jantungku masih belum bisa bekerja secara normal, masih cepat seperti pacuan kuda orang Eropa di daerah Idjen Boulevard.

"Kita sudah saatnya melawan" ujar Panji, "mau berapa lama lagi kita hidup dibawah kungkungan orang Eropa?"

Hening. Aku masih terkejut dengan apa yang barusan Panji katakan. Beberapa detik kemudian baru mulutku dapat terbuka.

"Sejak VOC berdiri" jawabku.

"Bahkan jauh lebih lama dari itu, Ras. Sebelum VOC berdiri pun orang Eropa telah mengatur kehidupan kita dengan kepentingan ekonomi"

Dia membuatku tidak bisa berkata apa-apa. Panji, seorang anak administrator perkebunan kopi yang tidak banyak bicara di kelas kini telah mengutarakan pemikirannya. Dan pada akhirnya pembicaraan kita pun berakhir karena bel pulang telah berbunyi.

"Besok, kita kerjakan tugas kita di rumahku saja. Banyak buku yang ingin aku tunjukkan padamu"

Aku hanya mengangguk mengiyakan ajakan Panji. Tidak kusangka kita akan berteman secepat ini.

"Baiklah, aku pulang dulu. Kau hati-hati dijalan ya"

Setelah melihat Panji dengan dokarnya berjalan pergi aku putuskan untuk segera pulang juga. Tetapi aku tidak akan lewat perkebunan kopi kali ini, khawatir kalau bertemu dengan mandor Tuan Eropa kemarin.

"Tunggu!" teriak seseorang padaku. Sontak aku pun langsung menoleh kebelakang dan melihat orang tersebut. Mataku terbelalak melihat beskap beledu bewarna merah tuanya. Siapa lagi pemilik baju mewah tersebut jika bukan Raden Mas Tjokro.

"Ra-raden" ucapku terbata. Kali ini aku putuskan untuk sedikit menghormatinya, takut jika dilaporkan.

"Kamu yang kemarin di perkebunan kopi, bukan?" tanyanya memastikan.

"I-iya, Raden" jawabku terbata.

"Hmmm" Raden Mas Tjokro berdeham sambil terus melihati seluruh tubuhku dari ujung kepala hingga kaki, "tak kusangka kau bersekolah di AMS"

Aku tidak memberikan respon atas perkataannya tadi. Mataku melihati langkah Raden Mas Tjokro yang semakin dekat ke arahku dan membuatku semakin gugup. Tidak selantang kemarin.

"Apa yang membuatmu berani melakukan hal tersebut, huh?" tanyanya sedikit dengan nada congak. Aku memang tidak memililki kedudukan atau pun harta tetapi aku tidak bisa melihat seseorang dilakukan tidak adil seperti kakek kemarin. Terlebih jika sesama bumiputera ditindas.

Tiba-tiba saja aku tidak merasakan gugup atau pun ragu karena aku tahu betul jawaban atas pertanyaan Raden Mas Tjokro. Kalimat milik Panji membakarku.

"Sudah saatnya kita melawan" jawabku, "mau berapa lama lagi kita hidup dibawah kungkungan orang Eropa, Raden?"

_______________________________
adakah yang masih baca ?? Lol

Bara Jiwa : historical fictionWhere stories live. Discover now