6. Konco Anyar; Tjokro

233 22 0
                                    

3 hari telah berlalu semenjak malam itu dan anehnya Panji sama sekali tidak menanyakan apa yang terjadi denganku. Dia hanya bertanya 'apakah aku baik-baik saja?' dan aku menjawabnya dengan gelengan kepalaku, aku memang tidak baik-baik saja. Masalah nyai dan gundik adalah sebuah masa lalu kelam yang akan aku pendam dalam-dalam.

Semenjak malam itu pula Panji tidak mengungkit tentang nyai bersamaku. Tugas sekolah tentang tulisan Hindia-Belanda pun akhirnya mengenai Aloen-aloen Malang tanpa ada perdebatan seperti pertama kali berdiskusi.

Mungkin, Panji tidak ingin lagi melihatku kembali mengamuk.

"Tunggu sebentar yo" ucap Panji memintaku untuk menunggunya mengobrol dengan Pono, kusir andong keluarganya.

Akhirnya aku menunggu Panji di depan sekolah sendirian. Minah masih mengobrol di dalam sekolah. Hari ini aku mengajak Panji untuk menjenguk Roebiam bersama-sama, meskipun aku telah dilarang bapak menjenguknya tetapi aku tidak peduli, Biam adalah adikku dan aku berhak untuk menemuinya meskipun secara diam-diam.

Panji bersemangat sekali ketika aku bercerita tentang adik perempuanku itu, tetapi dia juga merasa kasihan karena Biam tidak dapat pergi sekolah padahal seumuran Biam seharusnya sudah duduk di bangku sekolah ALS (sekolah setingkat SMP). Sebagai hadiahnya Panji telah membawakannya koran bahasa melayu milik Mas Aji 'Swara Malang' untuk Biam baca di rumah dan aku membawakannya kamus bahasa Belanda sesuai janjiku dulu.

"Ras, maaf ya. Aku hari ini tidak bisa ikut" ujar Panji yang membuatku terkejut, "Pono wes ngempet" (Pono sudah kebelet)

Aku dan Panji sontak langsung tertawa. Mendengar namanya disebut Pono langsung melihat ke arah kita berdua dengan tatapan serius.

"Goro iku, Den Ayu. Ojok percoyo" (bohong itu Raden Ayu. Jangan percaya)

Panji kembali tertawa sebelum menjelaskan alasan sebenarnya dia tidak bisa ikut aku hari ini, karena di rumahnya sedang terjadi sesuatu hal yang penting sehingga Panji diminta segera pulang ke rumah.

"Kabeh apik-apik ae kan?" (semuanya baik-baik saja kan?) tanyaku khawatir.

"Tenang, apik kok" (tenang, baik kok) jawab Panji meyakinkanku. Setelah itu Panji pamit dan andongnya pun menghilang dari pandanganku. Aku kembali sendirian berjalan menjenguk Roebiam.

Selama perjalanan pikiranku berkelana kemana-mana, tidak terkecuali tentang Raden Mas Tjokro yang akhir-akhir ini melihatiku di depan sekolah. Aku takut jika Raden Mas Tjokro masih marah padaku mengenai peristiwa di kebun kopi waktu itu.

"Tunggu, Laras!" teriak sesorang dari belakang dan saat aku melihat andong cantik dibelakangku, aku tahu andong ini milik siapa. Raden Mas Tjokro. Panjang umur sekali dia. Sontak langkah kakiku pun langsung terhenti.

Raden Mas Tjokro turun dari andongnya dan langsung menghampiriku, membuatku gugup setengah mati.

"Laras" panggilnya, "mau kemana?"

Aku menatapnya kebingungan, ada apa dengan Raden Mas Tjokro tiba-tiba menjadi baik padaku seperti ini.

"P-pulang, Raden" jawabku.

"Tjokro ae, kita lak seumuran" (Tjokro saja, kita kan seumuran) ujarnya. Aku hanya diam karena belum dapat memproses apa yang sedang terjadi sekarang.

Raden Mas Tjokro mengajakku untuk pergi bersama dengan andongnya karena searah dengan tujuannya. Sudah aku tolak ribuan kali tetapi Raden Mas Tjokro tetap saja memaksa dan membuatku jadi tidak enak menolak tawarannya tersebut.

"Maaf merepotkan, Raden" ujarku ketika duduk diatas kursi andongnya.

"Tidak merepotkan sama sekali. Oh yo, aku mau minta maaf untuk di perkebunan kopi waktu itu" ujarnya tiba-tiba di tengah perjalanan.

Mataku melebar mendengarnya. Seorang Raden anak Gementee Malang meminta maaf padaku, apa aku tidak salah dengar?

"A-aku lah yang seharusnya minta maaf, sikapku sangat kasar pada Raden atau tuan Eropa waktu itu" balasku.

Raden Mas Tjokro menggelengkan kepalanya, "tidak, tidak" elaknya, "jika boleh jujur-"

Aku melihat Raden Mas Tjokro dengan gugup, menunggunya untuk melanjutkan ucapannya. Dia telan ludah dalam mulutnya.

"A-aku, aku justru terkejut dengan pemikiranmu, Ras"

Aku juga ikut terkejut dengan ucapan Raden Mas Tjokro, "maksud R-raden?" tanyaku.

"Tjokro saja" pintanya lagi, "aku benar-benar terkejut dengan pemikiranmu. A-aku saja tidak pernah berpikir seperti itu. Sebagai anak dari Gementee Malang aku hanya akan meneruskan jabatan romoku begitu juga halnya saat aku punya anak nanti. Tetapi setelah bertemu denganmu aku melihat sekitarku. Aku melihat kakek tua di perkebunan kopi waktu itu"

Hening. Angin berdesir menerpa wajah kita berdua. Kusir andong Tjokro jelas mendengarkan percakapan kita berdua, tetapi sunyi adalah jawabannya.

Beberapa detik kemudian Tjokro melanjutkan ucapannya kembali.

"Kalimat yang kau ucapkan hari itu benar-benar tidak dapat keluar dari otakku"

Aku tahu betul kalimat yang Tjokro maksudkan,

"Sudah saatnya kita melawan. Mau berapa lama lagi kita hidup dibawah kungkungan orang Eropa, Raden?"

Saat Panji mengucapkannya padaku aku juga tidak dapat berhenti memikirkannya. Kalimat tersebut terdengar sangat sederhana, tidak ada unsur keindahan sastra didalamnya. Tetapi ada unsur pemberontakan yang dibutuhkan.

"aku harap kita bisa menjadi teman"

Hari tersebut pun diakhiri dengan kawan baru, koran 'Swara Malang' dari Panji, Kamus bahasa Belanda dariku dan 2 botol susu dari Tjokro dan lepas kangen dengan Roebiam.

Bara Jiwa : historical fictionWhere stories live. Discover now