O7

1.4K 374 42
                                    

Karena sakit, gue tidur sampai menjelang sore. Terbangun karena Mbak Sri buka pintu dan ada suara deritan, "Mbak, maaf ganggu. Tapi ada temannya di bawah,"

"Suruh naik aja ke kamar, Mbak. Aku masih lemas,"

Mbak Sri keliatan gak enak dan mengusap tengkuknya, "Tamunya cowok, Mbak. Mau di suruh masuk ke kamar? Takutnya nanti ada Ibu sama Bapak, nanti Mbak di omelin,"

Gue mendengus. Susah, karena Mbak Sri terlalu polos. Sama kayak Jisoo, cuma Mbak Sri versi malaikatnya, Jisoo versi kuntilanaknya, "Gak apa, Mbak. Nanti aku yang jelasi ke Mami Papi kalau mereka marah,"

Mbak Sri mengangguk sebelum pergi, dan gak lama, tamu yang di maksud Mbak Sri itu masuk. Siapa lagi kalau bukan Willis? Gue udah duga sih, kalau tamu yang di maksud itu pasti Willis.

Gue tersenyum lemah ke Willis. Sedangkan dia, ngambil tempat di pinggir ranjang gue. Tangannya terjulur ke kening gue, "Kamu datang?" gue nanya dengan suara berat dan serak.

Willis mengangguk, "Kan udah aku bilang di telepon, kalau aku mau ke rumah kamu," gue diam dan menikmati moment dimana tanggan Willis megang kening, pipi dan leher gue, "Masih panas. Udah minum obat?"

Gue mengangguk, "Tadi pagi," dan gue terkekeh lemah.

"Berarti belum makan siang?" gue menggeleng, "Biar aku suruh Mbak Sri bawain makan siang sekaligus obat buat kamu,"

Sebelum Willis beranjak, gue megang kemeja seragam dia, "Jangan tinggalin aku!"

Willis tersenyum lembut, "Aku gak ninggalin, Ann. Aku cuma mau bilang ke Mbak Sri doang, buat bawain makanan sama obat buat kamu," Willis mengusap kepala gue.

Gue menahan tangan Willis di kepala gue, "Tapi kamu gak pulang kan?" Willis gak jawab, cuma diam. Mata gue mulai memanas. Berarti Willis mau pulang abis bilang ke Mbak Sri. Gue ubah posisi menjadi duduk dan gue kurung lengan Willis, "Gak boleh! Kamu gak boleh pulang! Aku gak mau makan, gak mau minum obat kalau kamu pulang!" gue udah bilang, kalau orang sakit itu sikapnya gak beda jauh sama orang mabuk. Bahkan Jisoo lebih parah dari gue kalau lagi sakit. Dia suka ngelindur joget-joget dengan mata tertutup. Horor kayak orang kerasukan.

Willis menghela nafas dengan lembut. Memaklumi tingkah kekanakkan gue, "Aku gak kemana-mana, Ann,"

Gue mengangkat jari kelingking, "Janji?"

Dan Willis pautkan jari kelingkingnya di jari kelingking gue, "Janji," gue tersenyum puas, "Jadi? Bisa lepasin aku dulu? Aku mau ke bawah buat bilang ke Mbak Sri," gue mengangguk patuh. Willis menyuruh gue untuk kembali rebahan, dan gue menurut. Gue ngeliat Willis pergi. Pintu kamar gak di tutup, karena kalau di tutup malah mengundang kecurigaan. Kata Pak Udztad, kalau berduaan di satu ruangan, yang satunya itu setan. Gue gak mau di kamar banyak setan. Satu setan kayak Jisoo aja udah capek ngurusnya.

Selang 20 menit, Willis balik ke kamar gue dan bawa nampan yang isinya dari makanan, minuman sampai obat. Yikes, minum obat lagi. Gue mengeluh dalam hati. Selain bahaya buat ginjal karena terlalu sering minum obat, gue juga punya trauma. Tepatnya dulu, ketika gue gak bisa minum obat secara langsung. Jadi harus ada media yang ngebantu. Biasanya pisang. Gue pakai pisang waktu itu. Na'as, pisangnya gue telan, obatnya gue emut. Akhirnya gue muntah karena rasa pahit. Belum lagi, Mami dulu gerus obatnya dan di campur ke air teh manis. Kata Mami, gak akan berasa pahitnya. Pas gue minum, rasanya bukan teh lagi. Tapi kayak larutan obat. Dan berujung gue muntah lagi. Ada lagi, pil segede gaban nyangkut di tenggorokan, sampai gue nangis dan Mami gak pernah lagi ngasih pil yang segede gaban.

Sialan!

Willis bantuin gue duduk bersandar di ranjang. Dia ngasih mangkok yang berisi bubur ke gue, "Di makan," suruh Willis. Tapi gue menggeleng, "Kenapa? Gak suka bubur? Tapi kata Mbak Sri, kamu lagi radang, jadi gak boleh makan yang seratnya kasar,"

something new ✔Where stories live. Discover now