19

1K 310 92
                                    

Gue nunggu Willis di depan ITB. Gue gak mau masuk ke kampusnya, karena berasa asing banget. Tadi, gue ke ITB bareng sama Charles. Tapi dia udah gue suruh pergi, soalnya ini urusan gue sama Willis. Gue tau, di ITB masih UAS, sedangkan kampus gue udah libur duluan. Toh, walau ITB libur, gue yakin Willis sibuk bolak-balik lab.

Gue tau, beberapa pasang mata ngeliatin gue. Tapi gue gak peduli. Sampai akhirnya, gue nemuin siluet Willis. Baru mau gue samperin, ternyata gue nangkep siluet lain di samping Willis.

Gue tahan.

Gue tahan gimana pun caranya biar air mata gue gak keluar. Ini lebih nyakitin dari pada waktu dia deket sama Sela. Willis tersenyum, sedangkan cewek di sampingnya lagi ketawa.

Gak lama, gak butuh waktu lama, tatapan Willis bertemu dengan gue, "Ann.." gue kasih waktu dia buat ngomong sama cewek itu. Willis seakan nyuruh cewek itu buat duluan.

Setelah cewek itu ninggalin Willis, dia melangkah mengikis jaraknya dengan gue, "Kenapa kamu kesini, Ann? Kamu gak ngabarin dulu?"

"Aku butuh ruang. Aku mau ngomong sama kamu,"

Willis mengangguk, dia menggenggam tangan gue, dan dalam waktu singkat gue tepis. Willis menghela nafasnya, "Ikut aku," gue ngekorin kemana Willis jalan. Tepatnya, Willis bawa gue ke taman yang gak begitu ramai, "Mau ngomong apa?"

Gue menarik nafas dan membuangnya perlahan biar emosi gue gak lepas, "Satu bulan, Wil.." Willis mengerutkan keningnya, "Kamu gak ngabarin aku satu bulan. Kemana?"

Willis bungkam. Dia bahkan gak mau ngeliat gue, "Tatap aku, Wil! Jawab, satu bulan ini kamu kemana? Apa handphone kamu di curi?" Willis masih gak ngeliat gue. Dia masih buang mukanya dan gak ngomong sepatah kata pun.

Gue tersenyum miris, "Kayaknya, kedekatan kamu sama cewek tadi udah ngejawab semua, Wil," gue duduk di bangku taman. Karena kaki gue rasanya gak kuat buat nopang tubuh, "Jadi, kamu maunya gimana, Wil?"

Hal yang paling gak mau gue dengar, terucap gitu aja dari bibir Willis, "Maaf, Ann," karena satu kata itu, seakan menjelaskan semua.

Maaf?

"Sorry for what? Maaf karena gak hubungin aku? Atau maaf buat kamu yang deket sama cewek itu?" gak ada jawaban dari Willis. Gue menolehkan muka saat setitik air mata gue jatuh. Gue beranjak dan narik kerah Willis serta memukulnya pelan, "Jawab aku, Wil! Jangan kayak gini! Jangan perlakuin aku kayak gini!"

Willis menahan tangan gue dan melepas genggaman gue di kerahnya, "Maaf, Ann.." dia berbalik badan dan bermaksud ninggalin gue gitu aja.

Gue menarik nafas dalam-dalam. Sebelum Willis menjauh, gue ngomong ke dia, "Jadi, boleh aku gak nunggu kamu lagi, Wil?" langkah Willis berhenti tanpa membalikkan badannya buat menatap gue. Gue terkekeh dalam kesakitan, "Jadi, ini akhirnya?"

Gue tatap punggung tegap Willis, "Aku ngelepas kamu, Wil. Makasih buat selama ini," tanpa menunggu jawaban Willis, gue ninggalin dia begitu aja.

Jalan kita udah berbeda. Willis gak ngasih penjelasan sedikit pun. Hubungan kayak gini gak akan berhasil.

Gue berjalan tanpa mengangkat wajah, sampai gue nabrak seseorang, gue mengangkat wajah, "Maaf—"

"Anne?" gue lekas menghapus air mata gue dengan cepat.

Gue ketemu bang Suhandi, kakaknya Willis.

"Bang.."

Bang Suhandi tersenyum lembut, "Kamu disini? Kok gak ngasih kabar?" gue cuma balas senyuman ke bang Suhandi, "Udah ketemu Willis?" gue mengangguk.

Bang Suhandi menghela nafas pelan, "Ini yang abang gak pengen kamu tau, Ann. Maaf, abang gak ngasih tau kamu."

Gue terkekeh, "Gakpapa, Bang. Aku bersyukur, aku udah tau. Jadi aku gak perlu di gantung terlalu lama."

something new ✔Where stories live. Discover now