28

3K 380 114
                                    

Malamnya setelah kejadian itu, Willis terus-terusan cari perhatian ke gue. Dengan ngetuk pintu kamar gue, terus di depan kamar gue ada bunga sama cokelat. Ya kali, gue gak tertarik sama bunga dan cokelat. Gue cenderung suka makanan asin dari pada manis. Willis tau kok, kalau gue suka yang asin-asin. Tapi gak lucu kan kalau pasangan bunga itu garam.

Saat makan malam, Bang Suhandi ada di samping Mama. Sedangkan Willis di samping gue. Tangannya juga gak bisa diem. Kadang genggam tangan gue. Terus tangannya di sengajain nyenggol tangan gue karena ngambil sesuatu yang sama. Dan hal itu gak luput dari perhatian Mama, Papa sama Bang Suhandi yang cuma geleng-geleng kepala doang.

"Jadi? Udah resmi baikan dan balikan, nih?" Mama menggoda gue dan Willis. Mama dan Papa udah tau ceritanya dari Bang Suhandi. Dan Bang Suhandi bilang, Mama bisa bernafas lega, dan Papa walau mukanya datar, tapi kata Bang Suhandi sempat tersenyum sebentar.

Pipi gue memanas dan menunduk. Willis genggam tangan gue, "Masalahnya, Anne masih belum ngasih jawaban, Ma. Terus aku harus gimana?"

Gue mencubit pinggang Willis biar dia gak ngadu-ngadu ke orang tuanya, "Pepet terus. Mama dukung. Lagian, itu kesalahan kamu. Jadi Anne gak salah kalau dia pengen liat usaha kamu,"

Willis menengok ke arah gue, dan gak sengaja kita bertatapan. Gue yang mutusin kontak pertama, karena hati gue masih gak kuat, "Kamu mau aku usaha kayak gimana, Ann?"

"Sebisa—"

Omongan gue ke putus ketika suara ponsel berdering. Gue jelas tau nada panggilan ini punya siapa. Willis.

Willis natap layar ponselnya dengan kening berkerut, "Siapa?" tanya gue pelan.

Willis menggeleng, tanda dia juga gak tau siapa yang manggil malam-malam gini, "Angkat aja. Siapa tau penting," dan Willis menurut. Dia mengangkat. Semua orang yang ada di meja makan memperhatikan Willis yang lagi ngomong serius.

"APA???!! Di rumah sakit mana? Biar saya ke sana," kami semua kaget, dan pemanasaran. Jadi, kita tunggu sampai Willis selesai ngomong dengan si pemanggil.

Setelah Willis nutup panggilannya, Bang Suhandi menatap Willis, "Ada apa, Will?"

"Bang, Ann, kayaknya kita harus ke rumah sakit. Zena kritis gara-gara minum pil aborsi,"

Gue menutup mulut karena terkejut. Bukan gue doang, Papa, Mama dan Bang Suhandi juga gak kalah terkejut.

"Papa sama Mama di rumah aja. Biar aku, Willis sama Anne yang kesana. Nanti kita kabarin secepatnya," Bang Suhandi coba nenangin orang tuanya.

"Wil, kamu di belakang aja. Temenin Anne. Biar abang yang nyetir," Willis cuma mengangguk.

Selama perjalanan, tangan gue gemetar hebat. Tapi di genggam sama Willis dan di usap lembut punggung tangan gue, "Kenapa kamu bawa aku, Wil?"

"Aku gak mau kamu mikir, kalau aku masih punya rasa ke dia, Ann. Aku gak mau kamu salah paham lagi,"

Air mata gue udah turun, "Tapi kenapa dia sampai gugurin kandungannya?"

Willis menghela nafas, "Entahlah, Ann. Aku gak ngerti sama jalan pikiran Zena. Padahal, bisa aja aku desak Brian buat tanggung jawab secepatnya. Tapi Zena selalu nolak. Dia tetep kekeh buat nikah sama aku,"

"Kalau gitu, Zena cinta sama kamu?"

"Tapi aku gak," Willis menjawab cepat tanpa pikir panjang.

Setelah sampai di rumah sakit, kita bertiga jalan cepat ke ruang Zena di rawat. Dia masih ada di UGD. Menunggu, dan menunggu. Willis terus menggenggam tangan gue yang gemetar.

Gak lama, dokter keluar dan kita semua bangkit buat nyamperin dokternya, "Gimana dok, keadaan Zena?" tanya Bang Suhandi ke dokter.

"Sempat terjadi pendarahan hebat. Tapi lebih hebatnya lagi, janinnya masih bertahan. Pasien di perkirakan akan siuman nanti pagi,"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 03, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

something new ✔Where stories live. Discover now