Sesuatu yang Lebih Menyebalkan daripada Medusa

1.4K 131 31
                                    

Sebelum berangkat sekolah, gue terlebih dahulu menyusup ke dalam kamar Caca. Gue membuka pintu kamarnya dengan sangat perlahan. Berusaha semaksimal mungkin agar tak menimbulkan suara. Kemudian mengendap-endap seperti seorang pencuri, mendekati tempat tidur khusus milik Caca.

Ia tengah tertidur pulas dengan wajah polosnya. Terlihat begitu kecil dan rapuh. Membuat gue membayangkan yang aneh-aneh kalau saja sesuatu yang buruk terjadi padanya. Tidak, tidak. Bukan berarti gue berharap demikian, namun otak gue bekerja dengan sendirinya untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Contohnya tubuh Caca yang akan hancur jika Draco Malfoy dengan isengnya masuk kemari dan mengeluarkan sihirnya. Berhubung Caca bukanlah seorang Harry Potter, ia tak akan bisa melawan seperti Harry yang mengalahkan Voldemort saat ia masih bayi. Mungkin saja ini efek karena gue terlalu sering membaca novel.

Gue mengulum bibir dengan gemas. Matanya yang teduh itu tertutup, membuat bulu mata lentiknya terlihat lebih jelas. Pipinya seperti menghasut siapapun yang melihat Caca ingin segera mencubitnya kuat. Bibir mungilnya bergerak-gerak, membuat air liurnya keluar mengotori wajahnya.

Gue meringis sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. Bayi yang ileran saat tidur memang terlihat imut, bahkan apapun yang dilakukan seorang bayi seakan membuat semua orang menjadi gemas. Namun apa jadinya jika gue yang ileran saat tidur? Pasti kesannya nggak banget, deh. Gue iri sama lo, Ca.

Langkah kaki terdengar dari belakang. Gue kembali berdiri tegak dan berbalik. Papa berjalan santai sembari memasukkan satu lengannya ke dalam saku. Kemudian Papa berhenti di samping gue dan memperhatikan Caca yang menggeliat kecil lamat-lamat.

"Sejak bayi saja dia sudah kelihatan cantik." Papa berbisik. Senyuman bangga terbit dari bibirnya. "Itu semua karena dia memiliki seorang Papa yang tampan."

Jelas sekali Papa terlihat sangat menikmati saat mengucapkan kata 'tampan'. Gue kembali menoleh ke arah Caca. Lebih baik gue tak berkomentar apapun. Pasalnya, gue sudah sangat memaklumi sikap Papa yang narsisnya kebangetan itu.

"Enggak kok."

Suara yang datang dari belakang secara tiba-tiba itu membuat baik gue dan Papa sama-sama terlonjak kaget. Gue menoleh lalu melotot saat melihat Kak Arka sudah berdiri di belakang, di tengah-tengah gue dan Papa sambil memperhatikan wajah Caca.

Sejak kapan Kak Arka masuk? Sejak kapan dia berdiri di sini? Kini ia benar-benar mirip dengan makhluk halus yang keberadaannya tak terdeteksi sebelum ia memutuskan untuk menampakkan diri.

"Apa maksud kamu?" Bisik Papa.

"Menurut Arka, Caca itu lebih mirip sama Mama." Kata Kak Arka dengan suara normal--tidak berusaha untuk berbisik atau paling tidak mengecilkan suaranya. "Tapi juga mirip sama Papa. Misal dari matanya."

"Tidak, Arka." Papa mulai berbicara dengan suara normal. "Itu semua semata-mata karena Papa yang tampan."

"Bukan, Pa. Itu juga karena Mama yang cantik. Caca kan perempuan, pasti cantiknya keturunan dari Mamanya." Kak Arka bersikukuh. Gue melotot. Dua pria ini benar-benar! Bagaimana kalau Caca sampai terbangun?

"Jangan memutarbalikkan fakta, Arka." Sepertinya, Papa sudah melupakan bila ada seorang bayi yang tengah tertidur pulas di ruangan ini.

"Bukan gitu, Pa. Arka kan cuma bilang kemungkinan--"

Perkataan Kak Arka tiba-tiba terhenti saat suara rengekan terdengar. Seperti dugaan gue, Caca terbangun dan menangis. Papa menjadi sangat panik sementara Kak Arka berdiri di tempat sambil mengamati Caca kebigungan. Rasanya ingin sekali gue memukul kepalanya.

Papa berusaha mati-matian menenangkan Caca dengan kalimat yang terus dilontarkannya. Padahal gue sangat yakin kalau Caca tak akan mengerti apa yang diucapkan oleh Papa.

My Genius FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang