Lubang Hitam dari Kehampaan

488 66 49
                                    

Bu Rahma--wali kelas--yang mengajarkan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan baru saja selesai mengajar. Beliau menyuruh gue untuk membantunya membawakan tas ke ruang guru. Dari depan kelas, samar-samar gue melihat Febby yang menuju bangkunya kembali lalu duduk. Sepertinya ia kalah cepat ingin menolong Bu Rahma karena posisi duduknya di belakang.

Sesampainya di ruang guru, Bu Rahma berkata ingin mengobrol sebentar dengan gue. Dengan ragu, gue pun duduk di kursi kosong di sebelahnya.

"Ada apa, Bu?"

"Soal Rio, kamu tau temen kamu sakit apa?" Gue hanya menggeleng sebagai respon. Tak mungkin juga gue berkata bahwa Rio dilarang ke sekolah oleh papanya. "Gini, Ra. Sebagai wali kelas, Ibu khawatir sama anak murid Ibu. Di sekolah, Ibu adalah pengganti orang tua kalian." Gue membiarkan beliau menuntaskan perkataannya. Melihat ke mana arah percakapan ini berlangsung. "Kata Fito, anak kelas juga nggak jadi jenguk Rio, ya?"

Gue mengangguk. "Iya, soalnya Rio ngelarang kita buat jenguk dia."

Bu Rahma sempat membalas omongan guru lain yang sedang mengajaknya bercanda sebelum ia kembali menatap gue. "Ibu boleh minta tolong sama kamu?" Di balik wajahnya yang tegas, bawah matanya menghitam. Keriput menghiasi wajahnya. Tampak lelah.

"Minta tolong apa, Bu?" Gue tak serta merta meng-iya-kan.

"Tolong kamu cari tau kondisi Rio." Gue mengerjap. "Semenjak kasih surat sakit waktu itu, Rio nggak pernah ke sekolah lagi sampai sekarang. Kasian loh, udah hampir dua minggu dia ketinggalan pelajaran. Ibu udah coba telpon orang tuanya, tapi nggak pernah diangkat. Padahal repurtasi Rio cukup bagus sebelumnya."

Gue menggaruk kening. Menimbang-nimbang omongan Bu Rahma. "Maaf. Tapi kenapa harus saya, Bu?"

Wanita paruh baya itu tersenyum hangat. "Kamu itu murid teladan di sekolah. Kamu patut dijadikan contoh sama murid lain. Kata-kata yang keluar dari mulut kamu bisa bikin orang sadar dan jadi lebih baik lagi." Gue memang cukup menyadari bahwa saat kelas sedang ribut, beliau seringkali menyuruh gue untuk menegur anak kelas. "Maka dari itu, Ibu yakin kamu bisa bujuk Rio untuk sekolah lagi. Setidaknya, mastiin keadaan Rio. Kamu murid yang paling bisa Ibu percaya dan selalu bisa diandalkan."

Kata-kata yang gue susun sebagai rencana penolakan menguap begitu saja. Gue hendak memberitahu bahwa gue pernah datang ke rumah Rio bersama Febby dan Siska. Yang pada akhirnya menghasilkan penolakan dan gagal total. Namun saat mengingat kemungkinan dibalik Rio yang dilarang keluar bisa saja berhubungan dengan masalahnya, gue takut Bu Rahma akan bertanya dan menyelidiki lebih lanjut. Sementara gue tak punya hak apapun untuk membongkar semuanya. Biar bagaimanapun, gue tak berhak terlalu ikut campur pada kehidupan pribadi Rio. Di sisi lain, gue tak tega menutupinya dari wali kelas sendiri.

Lamunan gue buyar saat tangan gue yang berada di atas meja diusap pelan. "Kamu mau, kan?"

Melihat tatapan lelah dan penuh harap dari Bu Rahma, gue hanya bisa menyunggingkan senyuman tipis dan mengangguk pelan. Ragu. Gue memang berniat untuk menyelidiki apa yang terjadi pada Rio. Namun, diberi tanggungjawab seperti ini rasanya melelahkan. Kata-kata 'kamu selalu dapat diandalkan' terkadang membuat gue merasa tak bebas. Takut jikalau ekspektasi orang lain menjadi terlalu tinggi.

* * *

Hari ini gue tak bertemu Bagas. Kami tak bertemu di kantin karena gue hanya menghabiskan waktu di kelas. Bahkan gue menitip dibelikan jajanan pada Siska. Sebenarnya gue sedikit cemas pada Bagas. Takut kalau cowok itu mengira gue sengaja menghindarinya setelah keputusan sebelah pihak yang gue utarakan kemarin. Gue menenggelamkan diri, berkutat dengan catatan dan tugas apapun yang bisa mengalihkan pikiran gue untuk sementara.

My Genius FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang