Berpikir seperti Kurva Brakistokron

645 73 50
                                    

Pagi yang cerah adalah awalan yang sangat bagus untuk memulai hari. Semangat untuk ke sekolah dengan tujuan mendapat ilmu baru membuat semuanya terlihat lebih sempurna. Namun, hari ini sedikit berbeda. Semangat yang gue rasakan sedikit tertutupi dengan perasaan bersalah. Entahlah. Katakanlah begitu.

Semua itu dimulai dengan Siska yang membuka surat yang diantarkan ke ruang kelas. Siska duduk di bangku guru di depan kelas, sedangkan gue sendiri berdiri di hadapan meja guru berhubung tadinya gue sedang mengobrol dengan cewek itu.

"Rio nggak datang, sakit."

Sekiranya begitulah yang Siska ucapkan usai terdiam sebentar saat membaca surat tersebut.

Gue memang mengatakan bahwa gue sudah tak peduli pada Rio. Namun, nyatanya tak semudah itu. Cowok itu jelas mengusik gue. Usai sedikit perselisihan kami kemarin, hari ini cowok itu bahkan tak ke sekolah karena sakit. Apa kondisinya seburuk itu?

Hal itu membuat gue kesal. Gara-gara cowok itu, gue tak bisa merasakan euforia menyenangkan untuk ke sekolah seperti biasanya. Maksud gue, orang normal mana yang masih bisa gembira dan mengabaikan temannya yang terlibat--kalian tau sendiri. Apalagi saat ia sedang sakit. Terlebih, kemungkinan besar akan berakibat fatal bila memang yang gue takutkan terjadi.

Akan tetapi, gue tetap memegang perkataan gue tempo lalu. Mungkin masih ada rasa peduli, tetapi gue benar-benar tak berniat ikut campur lagi pada urusannya. Biarlah orang menganggap gue jahat atau apa. Lagi pula, ini adalah permintaan Rio sendiri.

Sebenarnya, bukan hanya itu yang membuat gue tak bersemangat hari ini. Kini tiga orang gadis sedang menghadang gue di toilet. Gue menghela napas. Merutuki keadaan. Devaju tak bisa dielakkan. Tentu saja gue masih ingat pada tiga orang gadis yang sebelumnya pernah mencari masalah dengan gue di toilet. Jika kalian lupa, saat itu adalah hari dimana gue berkenalan dengan Bagas.

"Mau kalian apa?" Tanya gue dengan jengah.

Melihat ekspresi ketiganya yang menaikkan dagu dengan angkuh dan bersedekap, lengkap dengan tatapan sinis membuat gue tak kuasa untuk tak memutar bola mata. Gue benar-benar malas berdebat. Terlebih dengan orang yang tak gue kenal sepenuhnya.

Cewek yang berada di tengah--yang kelihatannya paling berkuasa di antara mereka semua memberikan tatapan menantang dan mengangkat kedua alisnya. "Gue nggak suka sama cewek caper kayak lo." Matanya menyipit. "Lo mau gue ganggu terus? Selama lo masih deket-deket sama Rio, gue nggak bakal biarin gitu aja."

Hanya wajah kebingungan yang dapat gue tunjukkan. "Loh, kapan gue caper? Lo kali yang caper sama gue."

Gue berucap dengan jujur tanpa nada menyindir. Benar bukan? Rasanya gue tak pernah mencari masalah dengan ketiga cewek di hadapan gue ini, tetapi entah mengapa mereka suka sekali tiba-tiba menghadang gue di toilet dan mengancam. Waktu itu mereka ketahuan menggosipi gue saat di toilet. Saat gue menegur, mereka malah mengatai gue karena mereka tak suka pada kenyataan bahwa Rio menembak gue. Yah, sebenarnya gue tak membanggakan diri juga untuk itu berhubung hal tersebut sama sekali tak membawa keuntungan. Hanya saja, gue rasa semuanya telah berlalu.

Lantas, kali ini ada lagi motif mereka tanpa aba-aba menghalangi gue? Tadi, usai jam istirahat berbunyi, gue beranjak ke toilet sebelum ke perpustakaan. Saat gue selesai dengan urusan gue dan hendak keluar, ruangan di luar bilik toilet--yang biasa digunakan untuk berkaca dan mencuci tangan di wastafel--tak bisa dibuka. Pintunya terkunci. Saat itulah gue tersadar bila ini semua ulah ketiga cewek yang sejak tadi melirik gue dengan tatapan sinis saat gue membasuh tangan.

Gue menatap meteka bertiga dengan tatapan tak suka. Tak beda jauh dengan mereka bertiga yang menatap gue dengan tatapan serupa. Cewek yang di tengah--yang tadi berbicara dengan gue--memiliki nada melengking saat ia berbicara dengan gue. Gue ingat betul sewaktu itu suara cemprengnya terus saja mengatai gue. Kelebihannya adalah paras manis yang ia miliki. Sayang sekali sikapnya tak semanis wajahnya.

My Genius FamilyWhere stories live. Discover now