Jangan Pernah Lupakan Nasihat Mama

1.3K 113 34
                                    

Gue duduk di sudut kamar, dimana terdapat meja khusus belajar. Memiliki meja belajar--yang tersambung dengan lemari serta beberapa rak buku mini--bagaikan memiliki dunia kecil tersendiri. Rasanya sangat nyaman sekaligus menyenangkan. Di sinilah gue sedang mengisi waktu luang dengan berkonsentrasi menyelesaikan soal Matematika tentang limit. Ah, tentu saja ini bukan tugas dari sekolah, melainkan hanya sebagai pemanasan untuk otak karena sering mengerjakan soal Matematika membuat seseorang dapat berpikir lebih cepat. Gue memiliki target setidaknya sehari harus mengerjakan minimal tiga soal.

Selesai mengerjakan soal terakhir--yaitu soal ke lima--gue meletakkan pensil dan menopangkan dagu dengan telapak tangan kiri. Perkataan Bagas tempo lalu kembali teringat oleh gue. Sungguh tak jelas sekali cowok yang satu itu.





Flashback


"Gue punya ide."

Kedua alis gue terangkat sedikit. "Ide apa?"

Tatapan Bagas beralih ke depan, seakan menerawang sesuatu. Cowok itu menyipitkan mata dan tersenyum sedikit. Tampak sedang berpikir. "Gimana kalau abang lo bilang ke temennya kalau dia udah punya pacar aja?"

Gue mengernyit. "Maksud lo?" Tentu saja gue mengerti apa maksudnya. Hanya saja, gue merasa ini adalah sebuah ide yang buruk.

"Kalau cewek di sekolahnya pada ngira abang lo udah punya pacar, secara otomatis mereka nggak bakal berani deketin abang lo lagi."

Gue menimbang-nimbang. Memang dari yang gue lihat, Kak Arka jelas bukanlah tipe orang yang sudah memiliki pacar. Pastinya satu sekolahan tau itu. Dan karena itulah perempuan yang suka pada Kak Arka tak sungkan untuk mendekatinya. Namun, bukan itu masalah utamanya. "Tapi kan tetep aja, bohong itu adalah cara yang nggak bener. Apalagi yang disuruh bohong manusia kayak Kak Arka. Kalau Mama sampe tau, habis lah dia." Gue sedikit meringis saat membayangkan omelan Mama yang tak ada habisnya.

Bagas mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. "Ya terserah sih, gue cuma kasih saran aja. Lagian bukan masalah besar juga kok, abang lo tinggal bilang kalau dia udah punya pacar ke cewek yang deketin dia. Selesai."

"Nggak segampang itu, Bambang." Bagas segera menunduk untuk menatap gue dengan kecepatan kilat, matanya membulat. Baru kemudian gue tersadar telah salah menyebut nama. "Eh, Bagas maksudnya." Gue mulai berjalan ke arah piano dan meyandarkan tubuh ke sana sambil berdiri menghadap Bagas. "Bakal heboh satu sekolahan dia yang ada. Masalahnya ini Kak Arka, bukan orang lain. Dia itu super jujur. Pasti susah."

Bagas berjalan mendekati gue. Ia ikut menyandarkan tubuhnya pada piano dan menoleh kesamping, menatap gue. "Gue kan cuma ngasih ide yang paling ampuh, Sayang." Seketika itu gue langsung melotot. "Eh, Filosofia maksudnya." Cowok itu lalu tersenyum jahil. Menyebalkan sekali wajahnya.

Gue segera mendorong bahunya agak keras hingga ia terhuyung ke samping. "Sialan lo."


Flashback End





Wajah datar gue langsung terbentuk saat mengingat cowok itu memanggil gue 'Sayang' dengan sengaja. Memang sialan sekali manusia yang satu itu. Namun gue akui perkataan Bagas tak ada salahnya dicoba. Bahkan nyatanya, banyak orang secara gamblang berbohong tentang statusnya demi kebaikannya sendiri. Hanya saja, sejak kecil Mama selalu mengajarkan kepada anaknya untuk tak berbohong. Bahkan untuk kebohongan kecil dan sepele. Rasanya seperti 'keluar dari jalurnya'. Entah bagaimana cara menyebutkannya secara tepat.

Mengingat Mama dan Bagas, gue jadi teringat wajah riangnya Bagas tadi. Sebelum berpamitan pulang, cowok itu sempat berfoto ria dan meminta tanda tangan Mama. Tak lupa pujian heboh yang dikeluarkan dari mulutnya. Gue heran. Terkadang Bagas memang terlihat seperti tipe cowok normal, dalam artian sopan, pintar, bertanggungjawab, dan supel. Di sisi lain, dia seringkali heboh dan kelewat ceria, melebihi seorang gadis muda yang kegirangan saat bertemu pujaan hatinya. Cowok yang satu itu memang agak aneh.

My Genius FamilyWhere stories live. Discover now