#1 Seorang Bermantel Basah yang Duduk di Sampingku

4.9K 322 71
                                    

"Melarikan diri atau lari dari seseorang?"

Aku menoleh. Bangku di sampingku yang sebelumnya kosong, kini terisi. Pemilik suara itu, --yang bertanya entah pada siapa-- seorang lelaki dengan mantel basah. Tetesannya jatuh satu-satu di lantai, dekat kakinya. Aku bergeser.

"Maaf," dia menaruh ransel setengah membanting. Lalu melepaskan mantel basahnya. "Hujannya deras sekali."

Aku hanya mengangguk. Hujan memang mengguyur tak henti sejak pagi.

"Jadi, kau melarikan diri atau lari dari seseorang?"

Aku menoleh, memastikan dia bertanya padaku. Tetapi, dia tidak melihatku. Lelaki itu sibuk mencari sesuatu di sakunya. Seketika aku waspada. Aku pernah satu bangku di bus dengan lelaki berpakaian necis yang pura-pura kehilangan dompetnya.

"Arrg. Pasti ketinggalan!" Erangnya lirih. Aku menggenggam erat tali ranselku, bersiap menyingkir kalau dia mulai mengatakan sesuatu.

"Kau punya korek?"

Pertanyaan macam apa itu? Aku menggeleng.

"Yah, pasti nggak punya kan. Nggak apa-apa." Dia membanting kotak kecil putih persegi panjang. Aku baru paham dia mencari korek untuk menyalakan rokoknya.

"Kalau saya melarikan diri," katanya. "Lari dari kenyataan." Dia tertawa, suaranya seperti daun kering yang retak.

"Bertahun-tahun, meyakini hal yang sama saja, ternyata tidak cukup untuk bertahan. Apalagi ketika tiba-tiba orang yang kau percaya mengatakan, ada satu perbedaan yang mungkin sulit untuk dibangun jembatan. Kau tahu, omong kosong macam apa itu?"

Tenggorokanku seketika kering. Lima belas jam sebelum aku duduk di sini, seseorang yang tak ingin kusebut namanya juga mengatakan perihal perbedaan kepadaku. Dia bertanya berulang-ulang, apakah aku akan pergi lagi atau tetap tinggal. Dia, seseorang yang tak ingin kusebut namanya itu, mengatakan bahwa dirinya khawatir semakin lama aku pergi semakin ia tak mengenaliku lagi. Kalimat macam apa itu? Hatiku sakit sekali.

"Rasanya seperti ditusuki paku. Di sini." Lelaki di depanku menepuk dadanya.

Ya, tepat, aku juga merasakan hal yang sama. Sakit sekali.

Aku pulang, setelah beberapa musim di perantauan. Kubawa berlembar-lembar cerpen dan puisiku yang dimuat media. Kuceritakan padanya bagaimana aku menulis di malam-malam panjang. Bagaimana sakitnya mendapat penolakan. Bagimana aku berhemat agar aku bisa membeli kuota.

Kukatakan pula padanya bahwa tulisan yang ini, atau yang itu, terinspirasi oleh masa-masa yang pernah kami lewati. Kusodorkan kepadanya untuk membaca. Tetapi tanggapannya, justru sebuah pertanyaan yang membuat aku ternganga, "Aku sudah bilang pada Pak Lurah kalau kau akan pulang dalam waktu dekat," ucapnya, sama sekali di luar yang aku duga.

"Setelah semua yang dia katakan, saya kira saya tak perlu bertanya apa maksudnya."

Lelaki di samping membuyarkan lamunanku. Tetapi di saat yang sama juga menggiringku pada ingatan akan seseorang yang tidak mau aku sebut namanya itu.

Kemarin aku justru bertanya, apa maksudnya berkata demikian. Kenapa dia membawa-bawa Pak Lurah? Dan, lelaki yang tak ingin kusebut namanya itu tidak menjawab. Dia justru berkata tanpa melihatku. "Kukira selama ini aku memahamimu. Ternyata tidak. Mungkin aku terlalu jauh untuk mengimbangi pikiran-pikiranmu."

Rasanya perih sekali. "Maksudmu apa sih?" Sekali lagi kusodorkan pertanyaan yang sama. Dan sekali lagi, dia menjawab di luar yang aku kira. "Pergilah kalau ingin pergi. Aku tidak akan menahanmu. Aku nggak bisa memberi apa yang kauimpikan. Kita tak perlu pura-pura lagi bahwa ada hal yang bisa kita perjuangkan. Mungkin dulu iya, tetapi sekarang aku sadar, apa yang membuatku bahagia, bukan apa yang membuatmu bahagia."

Meskipun Hujan Masih Turun (Sudah Terbit Versi Cetak)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu