#2 Gelas Kosong di Sudut Meja

2.2K 229 41
                                    

"Ini sampah dari kemarin nggak dibuang-buang?" Dewi masuk kamar, mencari sesuatu di mejaku. "Ya ampun, busuk lho."

"Itu bukan sampah."

"Gelas plastik kosong bekas cokelat nggak dicuci, bukan sampah?"

"Itu barang bukti."

"Barang bukti apa kenang-kenangan?"

Aku diam. Tidak semua pertanyaan harus dijawab 'kan?

Pada mulanya aku memang sengaja menyisakan sedikit cokelat di dasar gelas. Agar kalau ada apa-apa denganku, misalnya mendadak pingsan atau keracunan, barang itu bisa dijadikan bukti. Sekali lagi, bagaimana pun juga, bukan hal mudah menerima pemberian orang asing di tempat umum.

Namun, hingga seminggu setelah minum cokelat hangat di hari hujan itu, aku tetap baik-baik saja. Justru aku berpikir kalau telah berprasangka buruk pada lelaki bermantel basah itu.

"Dewi."

"Hem?" Dewi telah menemukan barang yang tadi dicarinya. Dia meminjam jarum dan benang, dan kini sedang menjahit kancing bajunya yang lepas di depan kamarku.

"Apa aku terlihat seperti orang yang baru patah hati?"

"Hah? patah hati dari India?" Dewi terbahak. "Kau bahkan terlihat seperti orang yang baru jatuh cinta?"

"Sembarangan!" Aku melotot. Meraih boneka kucing di sampingku dan melempar padanya. "Aku tanya beneran."

"Seperti apa orangnya?"

"Siapa?"

"Yang ngasih kamu cokelat itu? Sampai-sampai sampahnya saja kamu simpan?" Dewi mengerling.

"Heh! Aku nggak jatuh hati padanya!" Aku cemberut.

"Lah? Aku nggak bilang begitu. Aku kan hanya tanya orangnya seperti apa?"

Seperti apa?

Aku bahkan tidak terlalu detail mengingat wajahnya. Aku tidak memandangnya saat dia bercerita. Hanya sesekali menoleh. Itu pun, aku tidak berani lama-lama menatapnya. Bukankah memang harus begitu sebagai bentuk waspada? Lagi pula, ayah selalu berpesan agar aku tidak lama-lama memandang wajah lelaki terutama matanya. "Bahaya. Tundukkan pandanganmu," begitu pesan ayah.

Tetapi, aku masih ingat dengan jelas suaranya. Caranya bercerita. Caranya menertawakan diri sendiri. Caranya memaksaku menerima segelas cokelat darinya.

Aku juga ingat cara dia mencangklong ransel, menyampirkan mantel basahnya, dan langkah panjang-panjangnya. Lalu saat dia merebut buku dan pulpenku, dan menuliskan nomor teleponnya di sana. Tulisannya rapi, bahkan lebih rapi daripada tulisanku. Meskipun dia menulis dengan tergesa-gesa.

Sampai hari ini, entah sudah berapa kali aku mengamati angka yang tertera di bukuku. Bahkan rasa-rasanya aku telah hafal di luar kepala nomor itu. Tetapi, tentu saja aku tidak mungkin menghubunginya lebih dulu 'kan?

Ya Tuhan. Benar tidak mungkin. Untuk alasan apa? Mengucapkan terima kasih atas segelas cokelatnya? Bukankah aku sudah mengucapkan terima kasih? Atau minta maaf karena telah berprasangka buruk dan tidak menanggapi segala ceritanya?

Oh, mungkin sekadar bertanya apakah patah hatinya sudah sembuh? Yang ini begitu tidak sopan. Aku tidak pernah menyapa orang lain lebih dulu. Di media sosial sekalipun, apalagi ini nomor ponsel. Terlalu privasi. Tapi, bisa jadi, baginya memberi nomor ponsel sesuatu yang biasa saja 'kan?

Lalu, yang dia katakan tentangku itu...

"Eh, Dewi, masa katanya aku terlihat berantakan, seperti orang yang baru patah hati."

"Mungkin itu hanya alasan dia untuk ngasih kamu cokelat?"

"Sungguh?" Kenapa aku tidak terpikir demikian?

"Hati-hatilah."

Aku mengembungkan pipi. Tapi saat itu moodku benar-benar sedang buruk. Setelah pertengkaran dengan..., ya, orang yang tidak ingin kusebut namanya itu. Dan itu pertengkaran pertama antara aku dan dia, jika tidak disebut perdebatan terburuk yang pernah terjadi sepanjang kebersamaan kami.

Dia memang teman berdebat pertamaku, tidak mau kalah, tetapi kepadaku dia lebih sering mengalah. Meskipun dia yang benar. Meskipun aku yang salah. Selama ini, dia tidak pernah sekalipun bicara sekasar kemarin itu. Memang tidak benar-benar kasar, tetapi kata-katanya seperti... menusuki hatiku.

Bermenit-menit aku duduk di stasiun berharap seseorang yang tidak ingin kusebut namanya itu mengejarku, untuk meminta maaf atau mengatakan dia salah bicara misalnya. Tetapi, bahkan pesannya pun tidak muncul di layar ponselku. Aku tidak pernah merasa sekesal itu padanya.

Hingga datang lelaki bermantel basah itu. Yang dengan santai bercerita kalau dia melarikan diri. Lari dari kenyataan. Lalu saat itu kusadari, bahwa aku pun memang sedang melarikan diri, lari dari seseorang.

Dan meski kemudian seenaknya saja lelaki bermantel basah itu mengatakan aku terlihat berantakan, tetapi entah kenapa setelahnya aku sedikit merasa tidak terlalu buruk. Apakah karena aku merasa bukan satu-satunya orang yang sedang sakit hati, atau karena efek segelas cokelat hangat itu? Atau...

"Dewi, malaikat bisa menjelma manusiakah?"

"Jadi kamu pikir yang ngasih cokelat itu malaikat?" Dewi geleng-geleng. "Dasar penghayal."

Siapa tahu, Tuhan mendatangkan dia agar aku tidak terlalu sedih. Bukankah tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini? Tapi apa iya, malaikat meninggalkan nomor ponselnya?

Baru saja aku memikirkan nomor itu, mendadak layar ponselku berpendar. Sebuah pesan masuk.

"Gani, apa kamu bertengkar dengan Wira?" SMS dari ayah. Bagaimana beliau bisa tahu kami bertengkar?[Bersambung]


Meskipun Hujan Masih Turun (Sudah Terbit Versi Cetak)Where stories live. Discover now