#23 Meskipun Hujan Masih Turun

1.2K 211 124
                                    

-Kadang, apa yang kau ucapkan pada orang lain adalah penegasan untuk hatimu sendiri-

“Hei?”

            “Eh? Kok… bisa ada di sini?”

Pertanyaan macam apa ini. Klise sekali bukan? Untuk beberapa saat aku menyakinkan diri bahwa ini nyata, dan yang di hadapanku benar-benar Pengelana.

            Lelaki itu tersenyum. “Kamu mau shalat dulu atau apa? Biar ngobrolnya enak.”

            Ngobrol? Jadi, apa dia  ke sini sengaja menemuiku?

            “Ck!” Pengelana meraih koperku.

            “Eh?” Aku terkejut.

            “Apa memang begini kebiasaanmu di tempat umum? Saya kan bukan orang asing lagi. Dan kaki saya menapak lantai.”

            Spontan aku tertawa, ekspresinya lucu sekali. Jadi kukatakan padanya dengan agak sungkan kalau aku sedang tidak shalat. Kemudian dia menawari untuk mencari tempat berbincang yang enak.

  “Di sana ada coffee shop,” katanya terdengar santai.

Dia mendorong koperku dan mulai berjalan. Kok jadi dia yang bawain? Aku mengikuti sambil masih berpikir ini nyata apa tidak. Kami menyusuri lorong emplacement, melewati bangku-bangku dan orang-orang yang duduk.

“Hei?”

“Eh?” Pengelana kembali mengejutkanku.

“Hobby sekali melamun.”

Rupanya tadi dia bertanya sesuatu. Kami telah berdiri di depan coffee shop.

“Mau kopi apa cokelat?” tanyanya.

“Saya yang traktir. Memenuhi janji saya dulu,” kataku. “Mau kopi apa cokelat?” Aku balik bertanya.

Pengelana tertawa. “Ya sih, kamu janji akan traktir kopi. Tapi kita anggap lunaslah. Sekarang kamu mau kopi apa cokelat?”

“Eh kenapa begitu? Kan saya—“

Tetapi Pengelana memotong kalimatku. “Kopi satu,” katanya pada penjaga. “Dan…,” dia menggantung kalimat sambil melihatku, “Cokelat satu,” ucapnya lagi tanpa menunggu jawabanku. “Cokelatnya yang hangat ya, Mbak, jangan terlalu panas,” tambahnya.

Astaga. Aku baru saja akan berkata demikian dan Pengelana sudah mendahului.

“Kok tahu?” tanyaku.

“Nggak usah takjub gitu,” sahutnya. “Cokelat yang terlalu panas tidak bisa segera diminum ‘kan?”

Aku membungkan mulut dengan tangan sebelah. Itu kalimat yang pernah kuucapkan. Tetapi aku lupa apa pernah mengatakan kepadanya.

Setelah pesanan jadi, kami menuju bangku kosong.

“Bagaimana bisa sampai di sini?” tanyaku. Menyesap cokelat hangat membuatku lebih santai.  Meski lututku masih sedikit agak gemetar. Bersamanya di sini benar-benar suatu kejutan.

“Sekarang percaya ‘kan kalau itu hanya cokelat?” tanya Pengelana sambil melihat gelas dipelukan jari-jariku.

Aku tertawa, “Nggak usah meledek begitu.” Tentu saja aku masih ingat bagaimana dahulu aku curiga padanya, dan kutulis dengan detail di cerpen itu.

“Ceritakan,” kataku.

“Apa?”

“Ya gimana bisa sampai sini? Nggak kebetulan ‘kan?”

Meskipun Hujan Masih Turun (Sudah Terbit Versi Cetak)Where stories live. Discover now