#9 Puisi-Puisi Pengelana

1.3K 163 29
                                    

Saya yakin kebanyakan penulis menulis dirinya sendiri.

Aku merenungkan kalimat Pengelana. Menulis dirinya sendiri. Dari mana dia beranggapan seperti itu? Di cerpen itu aku memang memboncengkan kisahku. Beberapa tulisanku yang lain juga tidak nyata-nyata ada meskipun dari hal-hal di sekitarku. Aku telah meramunya. Tetapi...

Pikiran macam apa itu? Akhirnya kulontarkan tanya. Aku penasaran jawabannya.

Pengelana tertawa. Hebat sekali manusia bisa mengarang cerita secara utuh tanpa inspirasi dari kisah nyata sedikit pun.

Kali ini aku yang tertawa.
Hanya karena saya menulis kisah pertemuan kita, bukan berarti semua penulis begitu.

G. Baca lagi kalimat saya. Saya tidak bilang semua penulis. Saya bilang kebanyakan.

Iya, deh.

Pengelana tidak membalas lagi. Aku membaca ulang percakapan kami. Rasanya tidak percaya bisa semudah ini. Mengingat percakapan awal kami yang agak kaku dan tegang. Besoknya, besoknya dan besoknya lagi kami lebih sering berbincang.

Hal-hal kecil keseharian. Tentang cuaca, tentang macet jalanan, tentang pengamen yang mampir rumahnya, tentang sepiring mie, hingga sebungkus nasi uduk.

Kami juga pernah ngobrolin puisi Neruda, puisi Gus Mus, dan beberapa novel Nicholas Spark.

Kadang Pengelana mengirim foto secangkir kopi. Tentu saja dengan koreknya. Aku tidak berkomentar apa-apa perihal korek dan pasangannya itu. Ayah juga begitu kok. Pernah juga dia mengirim foto seekor burung yang hinggap di kabel listrik.

Lihat, G. Dia begitu kesepian.

Aku membalasnya dengan mengirim kulit-kulit kwaci yang baru saja kumakan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku membalasnya dengan mengirim kulit-kulit kwaci yang baru saja kumakan.

Oh Tuhan, sampai hari ini entah sudah berapa kwaci yang aku beli. Dewi sampai curiga karena aku beralih selera dari kacang ke kwaci.

"Bukan karena dia 'kan?"

"Dia siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan si Kelana Kelana itu."

Aku terbahak, "Pengelana," jelasku.

Dewi hanya geleng-geleng. "Mau berkelana, bertualang, pengembara, atau siapalah. Aku nggak yakin itu nama sebenarnya."

Aku masih tertawa, "Aku nggak peduli kok itu nama asli atau bukan."

Omong-omong tentang Pengelana. Pasca kami berteman di facebook, ternyata banyak sekali postingan-postingan yang hanya disetting kusus. Salah satunya album yang berisi puisi-puisi.

Yang membuat aku bertanya-tanya adalah, puisi-puisi itu ditulis di atas tisu.

Kenapa suka menulis di tisu? tanyaku.

Meskipun Hujan Masih Turun (Sudah Terbit Versi Cetak)Where stories live. Discover now