#20 Siapa Tara?

1K 196 35
                                    

Kepulangan ibu disambut oleh para tetangga. Mereka datang berduyun-duyun.  Membawa bungkusan-bungkusan di tangan. Mulai dari kue-kue, hingga bahan makanan. Bahkan ada juga yang membawa rumput untuk kambing-kambing di kandang.

Tetapi, adegan yang membuat pertahananku runtuh adalah saat ayah dan ibu berpelukan.

“Yang sabar ya, iki ujian dari Allah,”  kata Ayah. Belum ada perubahan pada tangannya. Masih digendong, bengkak dan susah digerakkan.

Aku ingin sekali memeluk keduanya. Tetapi kalau aku lakukan itu, aku yang tidak akan berhenti menangis. Jadi, aku diam-diam pergi ke dapur.

Hari-hari berikutnya, masih ada saja tetangga yang datang. Mendoakan, memberi semangat. Kadang mereka sekadar menemani ayah berbincang.
Sementara ibu tak banyak bicara karena masih merasa berputar-putar dan mencari posisi kepala yang nyaman.

***

Aku mulai mengatur kegiatanku. Bangun pagi tetap. Jadwal menulis dini hari tidak berubah. Bersih-bersih, memasak, mencuci dan bergantian melayani kebutuhan ayah ibu. Kadang aku juga mencari rumput untuk kambing ayah.

***

Satu bulan berlalu.

Ibu mulai merayap pelan ke kamar mandi dengan pegangan dinding. Sementara tangan ayah belum ada perubahan berarti. Bahkan sama sekali tidak bisa diangkat ke samping. Sepertinya bagian sendi putarnya tidak berfungsi. Ada tonjolan di bahu bagian belakang. Tiap kali melihat itu, aku akan menyingkir diam-diam dan menangis.

***

“Lagu siapa itu?”

Aku sedang memasak, dan memutar lagu-lagu Pengelana ketika Wira melongok dari jendela dapur.

“Kayak bukan penyanyi aslinya.”

“Memang bukan,” jawabku. Sambil masukkan potongan-potongan singkong ke dalam panci. Ibu ingin makan kolak singkong. Jadi, ayah menunjukkan padaku singkong yang enak di kebun.

“Dia penyanyi juga?”

“Siapa yang kamu maksud?” tanyaku. Kali ini sambil memeras santan.

Wira tertawa. “Harus kuperjelas ya?”

Aku ikut tertawa.

“Nggak hanya sekali ini kok aku lewat kamu mutar lagu-lagu itu. Dulu-dulu kamu biasanya mutar radio," kata Wira lagi.

“Halah, gitu aja dibahas. Musim aja berganti, perkara mutar lagu atau radio bisa berubah kan?” Aku memasukkan sehelai daun pandan yang sudah kuikat ke dalam panci, kemudian  menutupnya lagi.

“Apa namanya coba, ada lagu penyanyi-penyanyi asli, tapi kamu milih satu orang saja dan menjadi daftar putar?”

“Terserahlah kamu menamai apa.”

“Gimana si Khalid, sudah menghubungi belum?”

Tanganku yang terulur hendak mengambil toples berhenti di udara.
“Kok jadi ngomongin Khalid?”

Wira tertawa lagi, “Kan dia minta nomor hpmu. Siapa tahu ibunya kangen kamu.”

Aku mengambil bungkil kelapa dan kulempar ke Wira. “Kamu tuh yang masih hutang cerita. Ayo ceritakan!”

Wira tidak menjawab apapun. Dia justru pergi. Dan tak lama kemudian kudengar suaranya sudah di ruang tamu bercakap dengan ayah.

Mereka membicarakan rencana penanaman benih-benih cabe ayah yang seharusnya sudah ditanam.

Meskipun Hujan Masih Turun (Sudah Terbit Versi Cetak)Where stories live. Discover now