10: yang patah tumbuh, yang hilang berganti.

777 142 40
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"yang patah tumbuh, yang hilang berganti

yang hancur lebur akan terobati"

(banda neira)

//

"Fajar! Kita sekelas!"

Bibir Fajar (terpaksa) melengkungkan senyum, menatap Adelia yang sumringah melihat daftar nama pembagian kelas—sebelum senyum tersebut turun lagi beberapa detik kemudian. Tahun ajaran baru dan jurusan baru. Mengingat akan mimpinya menjadi seorang dokter membuat Fajar memilih kelas IPA (dan Jingga, Jingga juga masuk kelas IPA dengan motif yang kurang Fajar ketahui). Sistem sekolah ini mengharuskan kelas 11 dan 12 diurutkan berdasarkan prestasi dan peringkat. Jika di kelas 10 Fajar dapat berbaur dengan semua kalangan, di kelas 11 ini ia masuk ke dalam kelas unggulan berkat nilai akademisnya yang cemerlang. Bersama dengan anak-anak peringkat atas lainnya. Terpisah dengan Jingga yang kelasnya paling belakang. Terpisah dengan Dira yang berbeda jurusan.

Yang mana, membuat Fajar khawatir karena ia terlalu terbiasa berada di bawah bayang-bayang sahabatnya dan kakaknya.

Hal pertama yang ingin dilakukannya setelah mengetahui pembagian kelas adalah pulang, menyembunyikan dirinya di kamar dari dunia. Tidak ingin bertemu siapapun, terlalu sedih untuk bertemu siapapun. Ia menyesal karena reaksi pertamanya mendengar ucapan Adelia adalah bibir yang tertekuk ke bawah dan sorot mata yang masih mendung. Pun menyesal saat nadanya pun, terlalu berduka.

"Ah, iya. Sampai lulus, ya."

Senyum di wajah Adelia memudar kemudian. Tatap mata yang semula berbinar mulai redup, Fajar merasa bersalah.

"Fajar masih kepikiran Dira?"

Yang pemuda itu dapat lakukan hanya menunduk dalam. Lihat? Ia bahkan membuat Adelia turut sedih dengan kesedihannya. Bagaimana caranya ia merespon dengan baik-baik saja jika hatinya berkecamuk? Tarikan napas, diberanikannya mengangkat kepala dan menatap Adelia kemudian.

"Enggak kok, Del. Bukan apa-apa." Bibirnya memaksakan diri untuk tersenyum. Wajahnya memaksakan diri untuk tampak secerah mungkin. Yang mana merupakan usaha sia-sia karena Fajar sejak awal bukanlah aktor yang baik, "Cuma sepi aja rasanya, di sini enggak ada Dira."

Gadis itu mengangguk maklum, mengulurkan tangannya untuk menepuk pelan bahu Fajar (sebelum gadis itu terkesiap dan menarik tangannya tiba-tiba dari bahu sang pemuda—wajah gadis itu bahkan memerah, manis). Dengan gestur, Fajar mengisyaratkan Adel untuk mengikutinya masuk ke dalam kelas. Mungkin kesedihan ini akan berlalu nantinya. Ini semua hanya terlalu tiba-tiba.

Bagaimanapun, itu karena Fajar terlalu terbiasa berada di dekat Dira. Sejak dulu. Karena mereka sudah bersahabat sejak umur sepuluh tahun dan Dira adalah orang terdekat yang Fajar punya selain Jingga. Bukankah berpisah dengan sahabatmu adalah hal yang berat? Wajar saja jika Fajar merasa separuh jiwanya seperti dibawa pergi jauh, bukan?

[2/3] day by day.Where stories live. Discover now