Detik Menjadi Menit (Renitha)

16 1 0
                                    

Rusuh angin menghempas tembok kelas tak terlihat namun nampak rasanya ketika masuk paksa melalui vintilasi jendela, karena kelas tidak memiliki kipas sempurna apalagi AC. Kibasan kipas kertas beradu seolah sedang melakukan berontak massal akibat minimnya fasilitas sekolah.  Beberapa siswa berbisik dengan gerutunya terasa sangkal namun tak dapat diungkap, karena jawaban atas protesan hanya akan sama "ac atau apalah itu masih dalam perbaikan, tunggu aja jangan terlalu manja" lontaran jawaban yang nyaris sama keluar dari mulut para pengajar kelas. Sebenarnya mereka juga lebih ingin mendobrak emosi, namun apalah daya sekolah terbelakang ini selalu kehabisan dana, mungkin saja karena prestasi kami tak ada yang menonjol membuat dana membatu alias lambat cair.

SMA Melati tak seharum namanya adalah sekolah terpanas dan terminim yang pernah ada, sebenarnya sekolah ini adalah sekolah Negeri hanya saja lokasi yang jauh dari kota-kota lainnya membuat dana terasa jauh pula. Yah kota kelahiranku berada jauh dari kota-kota lainnya, pedalaman bukanlah kata yang pas untuk kota ini karena sudah tersentuh teknologi canggih, hanya saja -itu tadi- lokasi super jauh dari ibu kota. Namun alasan menjadi sekolah terbelakang bukan hanya karena lokasi sebab beberapa sekolah tetangga di kota ini tidak memiliki nasib yang sama dengan kami contohnya SMAN 3 tetangga kami yang jaraknya ibarat sejengkal dari sekolah kami ini, yah ternyata rumusan yang lebih tepat atas keterbelakangan sekolah ini karena sekolah jarang tersentuh prestasi bahkan tercap sebagai sekolah buangan dengan kata lebih kasarnya adalah perkumpulan anak-anak bodoh dan nakal. Oh tidak, aku bagian dari mereka, sebab ini sekolahku. Tak ada penjelasan mengapa aku bisa masuk sekolah ini karena aku terlalu layak ungkap salah satu guru killerku saat SMP. huhh!! menyebalkan.

"bener katamu Na berasa gurun, bahkan lebih panas di kelas ini dibanding Amrik" dumelku berbisik bersamaan kibasan kipas kertas makin keras diakhiri remasan hingga membentuk bola.

"Pak.." panggilku dengan tangan yang lebih dulu tegap lebih tinggi dari kepala. "tidak, tidak ada yang boleh keluar sampai jam pelajaran habis" tolak Pak Eko mengetahui niat menghindari panas yang ku lakukan. "hah.. sengaja buat kita mati apa" gumamku memasang mata tajam ke arah papan tulis seolah pelampiasan kesal dengan pak Eko. "emang Ta, makanya kayaknya kita deh yang perlu bergerak nyediain kipas" sambung Nana dengan mata dan badan kaku mengarah ke papan tulis.

Akhirnya yang ditunggu telah berbunyi, bell tanda istirahat. Pelajaran kelas nyaris tak membuat otak kami terisi dengan ilmu melainkan hanya membuat kami dehidrasi hingga menyerbu kantin dengan melariskan berbagai minuman dingin. Kantin ujung adalah kantin favoritku dan Nana, karena selain harganya yang murah juga suasana sepi alias tidak perlu antri. Nyaris seluruh anak-anak jarang ke kantin Pak Selamet ini bukan karena masalah steril tetapi masalah siapa pengunjung yang datang. Ya Kantin ini menjadi markas dan tongkrongan tetap para preman sekolah bahkan tak jarang anak-anak normal siap berdesakan di kantin lain agar tidak memasuki kantin ujung ini. Bukan berarti aku dan Nana tidak normal, hanya saja ketua preman sekolah yang paling ditakuti adalah sepupuhku alias anak dari adik ibuku, Endik namanya.

"Siang pak, biasa ya" sapa dan pintaku pada pak Selamet dengan maksud pesanan nasi kucing kesukaanku plus es sirup. "siang neng, nasi kucing otw" jawab pak Selamet yang sepertinya baru mengenal kata otw membuat aku dan Nana geli tertawa kecil bersamaan. "haha.. emang otw apaan pak?" tanya Nana bergurau. "otw? ya gak tau lah neng, bapak denger anak bapak selalu sebut otw" jawab polos pak Selamet yang tak hanya membuatku geli tetapi beberapa anak yang juga sedang menyantap makan siangnya di kantin ini.

"otw itu singakatan dari on the way yang artinya dalam perjalanan, saya juga pesan satu makanan kaya dia pak" sambung cowok berseragam batik berbeda dari sekolah kami yang muncul dari perbatasan antara gerbang dan jalan yang terbuka lebar sebab rusak setahun yang lalu itu.

Suaranya membuatku segera fokus ke wajahnya, seperti familar tapi aku tak mengenalnya, mungkin saja pernah bertemu di jalan. Mataku terus mengikuti gerak-geriknya hingga bersandar di kursi dengan santainya.  

"siapa dia? kok berani banget ke sini?" tanya Nana penasaran berbisik yang jelas terdengar oleh semua orang. "tukang kebun juga biasanya berani ke sini neng" jawab pak Selamet yang tengah berdiri di depan meja menghantar pesanan kami yang disusul pesanan cowok tadi. Ya tepat sekali, karena tembok yang terbuka lebar membuat beberapa orang mengira kantin ini adalah warung umum, tak ada upaya dari sekolah untuk menutup gerbang tentunya dananya lebih besar dari harga perbaikan AC dan kipas kelas.

Dua suapan masuk dalam mulut ketika hendak mamasuki suapan ke tiga tiba-tiba piring berisi nasi kucing plus sirup landas di meja kami. Ya ternyata cowok berbaju batik lain ini bergabung di meja kami, sepertinya dia melakukan upaya pengenalan diri. Mungkinkah karena Nana yang cantik? sebab tak jarang beberapa anak nakal selalu menggoda Nana dan tak jarang pula sahabat satuku ini bergonta ganti pacar seperti percobaan parfum yang terus diganti samapai benar-benar menemukan bau yang disukai, dan sampai detik ini belum ada yang benar-benar yang sangkut di hati Nana, gila bukan sahabat satuku ini.

"mmm??" gumam Nana keheranan melirik sinis ke arah cowok itu diakhiri senyuman manis, ya Nana seorang gadis yang jutek bisa berubah manis dan meleleh setelah melihat wajah cowok diatas standar tipenya.  "pemandangan disini kayaknya lebih enak" katanya singkat duduk di hadapan kami dan melahap makannya tanpa sepatah kata lagi, sementara kami hanya terdiam kikuk seolah sedang diawasi ujian. Cowok ini sesekali tersenyum kecil bagai sedang menonton stand up comedy yang membuat kami semakin kikuk dan mulai memperbaiki cara makan dengan sok jaim.  "kenapa senyum-senyum? kamu dari Smathree ya?" tanya Nana memulai pembicaraan "oh itu Smatrhee? baru tau, jam pelajaran pertama di sana bosan, gimana sekolah ini?" kata cowok berbaju batik ini membuat kami tercengang karena tidak mengenali nama sekolahnya sendiri. "mending bosan daripada panas.. ngom.." kata Nana yang terpotong olehku "anak baru?" tanyaku padanya dengan mata mulai mengecilkan penglihatan fokus seolah mengintrogasi. Cowok tadipun memberikan senyuman lebar bersama anggukannya. "ngom.."lanjut Nana lagi dan terpotong oleh Cowok berbaju batik ini. "dengar-dengar kamu ulang tahun yah?" tanya cowok ini sok akrab dengan terkaan salahnya. "hoax tuh, ultah Tata Oktober kalli jauh banget" jawab Nana mewakili. "Ngom.." "Ngomong-ngomong namaku siapa? namaku Rifal, nama kamu?" potong cowok berbaju batik memperkenalkan namanya adalah Rifal. "idih kege'eran makanya jangan main potong aja, ngomong-ngoong kamu gak takut kena marah jajan keluar pagar??" "gak lah, gak ada larangan trus pagar dibiarkan terbuka, berarti free dong" jawabnya santai dengan suapan yang nyaris habis. "oiya tadi namamu siapa?" tanyanya lagi pada Nana, "Risna, ini Renita"  jawab Nana memperkenalka diri plus mewakilkanku. "kembar gitu" balasnya

"pak tambah satu porsi lagi masakannnya enak, apa nama makanan ini?" pesan dan tanyanya Rifal pada pak Selamet dengan mengarah ke samping. Mendengar pertanyaannya membuatku menyetopkan makanku dan memperhatikannya, namun ada yang salah setelah ku lihat wajahnya dari arah samping, seperti familiar dan hitungan ke sepuluh detik..

"hmmmhh kayak pernah liat, tapi siapa ya??" batinku berupaya mengingat-ngiat wajahnya yang familiar dari arah samping ini.  segera ku teguk air sirup perlahan-lahan sembari memerintah otak dan mataku untuk berdiskusi dalam hitungan detik 10, 9, 8,7,6, 5, 4, 3.... 2.... 1.

Tapppppp otakku mengengingatnyaa..!!!

Refleks tegukan sirup yang belum mendarat ke tenggorokan tiba-tiba ikut terkejut dan keluar begitu saja bagai air mancur yang melandas deras tepat di wajah Rifal si cowok berbaju batik ini saat kembali memalingkan wajahnya setelah menyebutkan pesanannya.

"Brrrrruuuuusssssshhh!!" semburan sirup bercampur liur membasahi seluruh wajah siswa pindahan ini

OMGGGG!!!!! mataku membesar bersamaan detak jantung berdetak lebih cepat dari biasanya seolah melihat hantu namun bukan hantu. Dia pria dalam detik itu, dia bule Amrik di Times Squared. aku meludahinya????!!! oh tidakkk!!!!



***sepertinya detik berubah menjadi menit*** 0_0



PUTARANWhere stories live. Discover now