Sepertinya Menit Akan Terus Berputar

27 1 0
                                    

Setiap salah pasti akan ada sanksi dibaliknya, karena itu aku ingin menjadikan ini adalah hukuman terakhir bagiku sebab aku tak tahan dibuatnya.

Hukuman terik matahari bersama malu tak cukup puas buat guru untuk diberikan pada kami atas kesalahan kami, tetapi juga pengurangan poin sebanyak sepuluh poin masing-masing dari kami dan ditambah lagi surat pernyataan sebanyak seratus lembar yang cukup buat jari menjadi keriwil.

"pulaaangg.. kapan pulangg? belll..beell" kataku bernada zombie menyetopkan tulisanku yang membuat tanganku kaku kesakitan.

"jangan manja, nih!" jawab Endik sembari menggeser beberapa kertasnya ke arahku. "aaakkhh" tak bisa ditentang sebab hukumannya ulahku jadi seperempat kertas Endik adalah tugasku darinya. 

Waktu benar-benar menyelamatkan jariku, akhirnya yang dinantikan terdengar menandakan selesainya segala kegiatan di sekolah termasuk waktu menulis tulisan permintaan maaf ini yang akan dilanjut di rumah masing-masing. "ayyy Ta.." panggil Nana dibalik pintu. "lah? kamu boleh masuk?" tanyaku sebab kami berada diruang BK. "boleh.. pak Dodi yang nyuruh, katanya lanjut dirumah besok pagi kumpul" jelas Nana, kemudian ku bagi beberapa kertas ke tangannya dengan cepat " nihh" kataku diakhiri tawa kecil Nana. "oiya pulang ini aku mau langsung ke RS, ikut ga?" tanya Nana dengan kebiasaan rutinya menjenguk neneknya setiap dua kali seminggu  menggantikan kesibukan ayah ibunya. "ga deh aku mau bertapa lagi nih haha" tolakku dengan bermaksud ingin bermalas-malasan di kamar kecilku.

"yakin mau bertapa? deadline besok" sambung Endik mengingatkan sembari menjulurkan tangannya bermaksud meminta kunci motor sesuai janjiku. "ingat jam lima teng harus sudah di rumah, aku gak jadi ikut soalnya mau piket supaya besok ga sibuk piket lagi" "siap" jawab Endik singkat dan pergi bersama motorku. Sementara Nana juga lebih dulu pergi karena tak ingin telat ke rumah sakit sebab tak ingin mendengar omelan cerewet ibu tirinya. Andai demokrasi bisa dilakukan pada rumah tangga orang lain, mungkin aku akan menjadi pemimpin demokrasi itu dengan aksi bela Nana dan pemeberhentian ibu tiri Nana sebagai ibunya. haha khayalan anak SD.

Piket membersihkan kelas kulakukan dengan cepat bersama Edi si siswa tercupu menurut julukan kelas namun tidak di mataku sebab aku tak melihat sisi cupu padanya. "Di, ceklis namaku juga" perintahku pada Edi yang tengah berdiri di depan papan tulis piket.

Setengah urusan piket telah selesai kami lakukan dan sisanya adalah untuk mereka yang datang besok pagi, "Duluan Di" pamitku "ya" jawabnya singkat sementara tangannya masih bergerak kekanan dan ke kiri bak penyeka kaca mobil membersihkan tulisan rapi tertempel di papan tulis.

Hirupan udara luar kelas membuatku seolah lelahku benar-benar telah selesai, kakiku pun mulai melangkah lurus menuju gerbang meninggalkan kelas namun terhenti seketika saat tak sengaja mataku terarah ke pemandangan paling mencolok di samping pagar baju batik berwarna coklat, sementara batik sekolahku adalah biru, siapa lagi kalau bukan cowok Amrik bertempel semburanku itu. Ya maksudku Rifal. "urusan kita belum selesai.." ingatanku mengingat kata-katanya saat di tengah lapang beberapa jam lalu itu. "aduuhh. matii aku!!!" gumamku seraya memutar balik arahku kembali menuju kelas dan bersembunyi.


Melihat Edi yang tengah siap memasang ranselnya membuatku meminta tolong "Di..Di..Dii.. tolong, kamu liat cowok di gerbang itu? kalau dia nanya aku, bilang aja aku sudah pulang sejam lalu, trus pastikan supaya dia gak nunggu aku. ya.. ya..???" pintaku bermuka sok memohon. "dia lagi, emangnya kenapa?" tanya Edi penasaran sembari memegang erat ranselnya. "gapapa.. tolong aja, please" pintaku lagi. "hmmm dia lagi?" batinku tersadar namun kembali acuh

 Seperti kataku cupu bukan kata yang begitu pas buat anak ini sebab dia terlalu penasaran dengan urusan orang dan masih kukuh menanyakan sebabnya atau imbalan setimpal untuknya. "iya iya deh ntar ku traktir bakso pak Selamet" kataku memberi imbalan dengan nada sedikit ngegas. "jangan di situ, bisa mati aku dibennyek Hendrik" jawabnya mengingatkanku bahwa Endik pernah melarangnya untuk datang ke tongkrongan Endik di kantin ujung. "yasudah di kan.." kataku yang sengaja ia potong "di warung Mie Ayam pinggiran No. 14, disitu enakk banget mienya. Sore ini" potongnya menawarkan seorang diri. "serah kamu lah. asal jangan sore juga soalnya motorku gada" jawabku lagi bukan memelas "yasudah" jawabnya sok serasa pengen dijitak. "iya oke.oke.. sore ini mie ayam. awas aja dia ga pergi dari gerbang, kamu yang bayar mangkukku!" ancamku balik. "oke" jawabnya santai seraya berjalan menuju gerbang dengan cepat.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 25, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PUTARANWhere stories live. Discover now