Detik Menjadi Menit (Rifaldi)

11 1 0
                                    

Pulang ilegal yang menjadi pilihanku, sambutan awan cerah Indonesia menjadi mendung terasa ketika memasuki rumah Kakek Nenek dengan sambutan banyak keluarga.

Sambutan panas dingin dengan senyuman kaku namun bertolak belakang dilihat dari kernyitan alis tanda kesal. Beberapa  paman dan tante blakblakan marah padaku juga paman Lidio, ku hadapi dengan senyuman  beserta satu kalimat kecil menyedak "aku tau permasalahan kalian hanya karena aku anak laki-laki, paman-paman, kakek juga laki-laki? bukannya itu juga masalah? paman tante banyak melewati hari daripada Rifal seharusnya tau mana salah mana benar, mana ajaran dan mana mitos" jelasku membuat seisi ruang terdiam, diamnya mereka akhirnya ku alihkan dengan menghampiri nenek kakek seraya mencium tangan serta memeluk mereka. Aku yakin amarah mereka hanya satu dua hari .

Keluarga lain begitu marah namun ternyata kakek nenek begitu hangat menyambutku bahkan memperlakukanku dengan sangat  baik, mungkin saja kulit kendor dan tulang perlahan rapuh itu yang menyadarkan mereka bahwa keseharian yang mereka jalani mengikuti mitos aneh itu adalah benar-benar aneh, hingga menyambutku begitu damai tanpa mempermasalahkan lagi aturan mitos keluarga. Dalam sehari banyak cerita penyesalan nenek terdengar dari telingaku diiringi air matanya begitu menyedihkan menceritakan tentang ayah ibu terhasut ego. Inilah titik kesempatanku mendobrak untuk menghancurkan mitos salah ini.

Bahagia rasanya kembali ke kampung halaman seakan lepas dari asma, memanjakan mata dan hidung yang ingin segera menghirup udara kampung halaman membuatku melawan rasa lelah dengan berjalan kaki mengitari taman yang tak jauh dari rumah Kakek. Langkah segar dan pelan dengan sorotan mata ke segala arah, serta pikiran yang sesekali membandingkan antara dua negaraku. Langkah demi langkah hingga ku temukan kolam kecil dengan dua orang yang menarik pandangan yaitu sang ayah dan anaknya yang sedang memancing dengan tawa gembira, membuatku mengingat kenangan kecil bersama ayah yang sama persis seperti apa yang ku lihat saat ini, bernostalgia dengan ingatan membuat mataku tak bekerja dengan baik hingga tak sengaja menabrak kursi taman di depanku hingga tergeser sesenti ke arah samping bersama orang yang sedang duduk di atasnya.

"sorr.." kataku ingin meminta maaf namun terkejut melihat siapa yang sedang duduk di hadapanku dengan mata terpejam memasang headphone di telinganya, kebetulan yang mengejutkan dia adalah gadis lucu di resto  dua hari yang lalu tepatnya di Amerika.  Haruskah detik dimulai menjadi menit sekarang? seketika terasa bahagia melihat wajah si lucu ini membuat goresan senyum terbentuk.

"gapapa, lain kali jalan jangan menghayal" jawab cewek lucu itu dengan mata yang masih tertutup namun kernyitan alis membentuk dan mereda dengan sendirinya. "ternyata mataku tak salah, kamu memang lucu, kebetulan yang ke tiga sepertinya akan lebih seru" kataku kemudian pergi berblik arah meninggalkannya sebelum matanya benar-benar terbuka.

"dasar cewek lucu, mejamkan mata nutup telinga padahal musik jelas mati, bisa dengar suaraku sekecil itu, aku ga sabar bertemu dengannya lagi" batinku tersenyum sepanjang jalan pulang.

..............................................................................................................................................................

Pagi sejuk dengan taburan embun datang bergerombolan hingga membuat basah setiap landasannya. Segarnya udara pagi Indonesia benar-benar tak tertandingi bersamaan iringan burung kecil bernyanyi di pagi hari yang juga setuju akan segarnya pagi Indonesia ini. Dengan semiran rambut normal layaknya warga Indonesia asli membuatku lebih bersemangat menuju sekolah apa yang akan ku temui di bulan-bulan terakhirku sebelum beralih status siswa menjadi mahasiswa ini. SMA Negeri entah berapa? paman Lidio tidak mengatakannya padaku, hingga membuatku masuk tanpa mengenal lebih dulu nama tempat belajar baruku ini.

Langkah kakiku terus berjalan bersama iringan mata dan bisikan-bisikan anak-anak akan diriku yang seoarang murid pindahan dari Amerika. Sebenarnya mata-mata itu terbagi menjadi tiga, mata si otak-otak pintar, mata para berandal sekolah, dan mata pengagum fisik. Tiga kriteria ini ada pada diriku di Amerika sana, entah di sini akan sama atau sebaliknya.

"Rifaldi Faizan" perkenalan singkatku yang membuat seisi ruang terheran termasuk guru "boleh saya duduk bu?" tanyaku pada guru yang masih memajang wajah herannya. "o..oh, kamu duduk di pojok kanan sana. pelajaranpun dimulai, namun nyaris membuat tak bertenaga sebab super membosankan dan terlalu hening membuatku mengikuti pelajaran sekaligus menunggu jeda belajar dimulai. "treeeetttt" jeda alias isirahat benar-benar dimulai, membuat mata suntukku akhirnya segar kembali sementara beberapa siswa-siswi lain mulai mendekati karena ingin mengenal siapa diriku. Lontaran pertanyaan diberikan padaku namun aku tak menjawab melainkan membalas dengan senyum yang kata Stella seperti sugar.  "kalian tau kantin terenak di sini dimana?" tanyaku pada beberapa siswi yang menggeromboliku. "seberang pagar, disana enak duakali lipat dari tiga kantin di sini" jawab salah seorang murid laki-laki yang dari pakaiannya sengaja dilipat di bagian lengan dan baju keluar dari ikat pinggang tanda murid pembangkang aturan. "gak usah dengerin Dodo, dia sengaja supaya kamu dihukum" tentang salah satu cewek tepat berada dalam barisan gerombolan, "aku cuma mencari kantin terenak, mau menemaniku ke sana?" tanyaku balik pada Dodo yang jawabannya adalah tolakan.

Akhirnya setelah melihat situasi pagar yang jelas terbuka lebar dan tanpa ada plang peraturan membuatku lebih memberanikan diri menerobos garis lingkungan sekolah dan pergi menuju warung kecil yang terlihat tidak begitu ramai. Dari kejauhan warung ini benar-benar membuat langkahku terhenti seketika hanya untuk menggoreskan senyum dibibir, sebab dia yang ingin ku temui ternyata secara kebetulan bertemu lagi.

"cewek lucu itu lagi, kebetulan yang ketiga pasti benar-benar seru" kataku dengan senyuman dan langkah berlanjut pasti menuju warung penuh semangat.

Di warung dengan jelas ku lihat wajah cewek ini tentunya tidak dengan mata terpejam, namun dia masih saja tak mengenaliku sebagai orang yang beberapa kali memperhatikannya. suka dalam sedetik sepertinya masih berjalan sebelah kaki. Mendengar pembahasan mereka membuatku menyambugnya dengan santai, rasa ingin mengenalnya membuatku bagai magnet tertarik duduk semeja makan tepat di hadapan cewek lucu ini, melihat cara makannya yang sama seperti dua hari yang lalu saat di Amerika membuatku tertawa kecil, ingin rasanya ku sentuh pipinya yang super cepat bergerak akibat kunyahan makanannya.

Beberapa pembicaraan antara aku dia dan temannya, begitu santai walau masih asing, hingga tepat pada titik mengejutkan saat aku hendak memesan seporsi makanan yang sama untuk ku santap.

"pak tambah satu porsi lagi masakannnya enak, apa nama makanan ini?" pesanku pada penjual di warung makan yang ternyata kantin sekolah lain ini, dengan mengarah ke samping.

"nasi kucing den" jawab bapak penjual itu yang membuatku refleks berbalik ke arah depan yang terkejut dengan nama nasi kucing yang berarti makanan untuk kucing.  "Innalillah kenapa mereka menjual makanan untuk hewan??" berbalikku yang terkejut dengan makanan yang telah habis ku lahap membuatku lebih terkejut lagi setelah semburan sirup hangat bersatu dengan liur membasahi seluruh wajahku tanpa sisa. Ya cewek lucu, maksudku Renita ya namanya Renita, dia menyemburkan seluruh isi mulutnya tepat di wajahku. Ternyata dugaanku benar, pertemuan secara kebetulan yang ketiga ini lebih seru karena entah apa niat cewek ini memberanikan diri menyembur wajahku.

Akhirnya semburan terhenti karena isi mulut Renitha telah habis tertumpuk di wajahku seperti kebanjiran, mata membelalaknya membuatku memikirkan ekspresi apa sebenarnya yang ia berikan. Tanpa sepatah kata dengan mata tajam menatap matanya membuatku memberi reaksi anggukan datar seolah bertanya apa maksudnya. Namun Renitha cewek lucu ini tak bisa ditebak, tanpa perkataan maaf atas kesalahannya ia pergi meninggalkan makan siangnya terutama diriku yang sebagai korban. Perginya tanpa pamit seperti seorang yang melihat hantu paling mengerikan di siang bolong ini.

"lhooh ta?? ta? Nitaa???" panggil Risna yang juga turut heran melihat tingkah temannya itu.

"khehhhh.." hembuan nafasku "kenapa dia??" tanyaku pada Risna seraya meresapkan air pada tisu makanan di  seluruh di wajahku. "aduh.. sorry, sorry banget yah, ini pakai tisu ini" jawab Risna seraya bangkit dari kursi dan berusaha mengejar Renitha. "Pak istirahat kedua ya bayarnya" teriak Risna yang telah jauh dari jarak kantin.

Sembari membersihkan wajahku menggunakan tisu basah yang Risna beri membuat mata beberapa anak-anak yang ada di katin menatap ke arahku sambil berbisik, bahkan beberapa tertawa geli. "apa yang salah dengan wajahku?" tanyaku pada beberapa anak yang melihatku namun ia hanya menggelengkan kepala dengan senyuman. "sabar toh mas, mungkin neng Tata lagi kebelet" jawab bapak warung dengan tangan yang masih fokus menyajikan makanan. jawaban bapak warung ini membuatku geli tertawa mengingat tingkah anehnya yang berlari kecil menjauhiku tadi.

"dasar.. cewek aneh hahaa" kataku mengingat kejadian memalukan beberapa detik yang lalu,

"Sampai ketemu di jam istirahat kedua" batinku,  kemudian pergi meninggalkan kantin.

PUTARANWhere stories live. Discover now