Menit Masih Berputar (Renitha)

21 1 0
                                    

"Brrrrruuuuusssssshhh!!" semburan sirup bercampur liur membasahi seluruh wajah siswa pindahan ini. Maksudku Rifal. "Akhhh..dia cowok Amrik itu???!!!"

Cowok yang buatku nyaris tiap detik tertawa kecil sebelum dan setelah tidurku setelah melihatnya malam itu, tapi apa yang ku lakukan??

Mata melotot serta degup jantung tak beraturan ditambah malu efek rasa bersalah karena semburan ini membuatku salah tingkah dan mati gaya, hingga seolah seluruh indraku menyarankan pergi meninggalkannya agar menghentikan degupan jantung yang semakin membesar nyaris akan terdengar oleh seisi kantin itu.

Akhirnya kakiku pun bekerjan lebih cepat dari yang ku duga, aku berlari meninggalkan Risna dan Rifal si cowok Amrik itu. Tujuanku adalah wc, segera ku hampiri westafle hayalan alias keran wc sekolah untuk membasuh seluruh wajahku sebagai upaya menyadarkan diri bahwa ini adalah mimpi.  "Akhh... ini bukan mimpi?!! apa yang ku lakukan, aaaaahhh... bego-bego-bego" kataku sembari menampar kecil wajahku.

Tak berapa lama setelahnya Nana menghampiriku "kenapa sih Ta?" tanya Nana heran melihatku yang berulang kali membasuh wajah. "Na.. kamu ingat ga? ceritaku pas di Amrik, nah.." kataku mulai menceritakan namun terpotong karena melihat beberapa anak memperhatikanku, akhirnya kutarik tangan Nana sembari mencari tempat tersunyi untuk menceritakan sejelas mungkin. "apaan sih? aku penasaran Ta? itu tadi kamu kok, aduh kasian amat dia" kata Nana di jalan. "ntar dulu, di sini masih rame, tempat yang sunyi dimana??" tanyaku yang geram ingin segera mengeluarkan seluruh cerita aneh yang ku temui ini. "Perpus??" jawab Nana menyarankan.

Tepat di perpustakaan, kami memilih tempat terpojok dan tersunyi di sentuh oleh anak-anak yang mana di sini adalah bagian kumpulan koran-koran bekas. "nah gini Na, ingatkan pas di Amrik? pas kita telponan, kamu ingat aku bahas apa??" tanyaku pada Nana mengajak menggali ingatan. "mmm..kamu menjatuhkan oleh-oleh gelang buatku?" tebak Nana mengingat bahwa aku sempat kehilangan gelang berbuah hati couple untuknya dan untukku, saat itu aku kehilangan gelang oleh-oleh untuk Nana. "bukan itu, yang pas telponan malam? ingat??" tanyaku lagi. "oohh.. cerita tentang bule yang sayang ke ibunya? aduh Ta ga mungkin, jangan bilang maksud kamu bule itu mirip Rifal?? jelas Indo banget dia, rambutnya aja hitam gitu ampe lalat lewat aja bisa gak kelihatan" jawab Nana panjang lebar dengan cepat. "serius Na, bukan lagi mirip tapi itu emang dia yang di Amrik" kataku dengan mata lebih membesar pendukung mimik wajah bahwa perkataanku adalah serius. "mm.. yakin Ta?" tanya Nana lagi yang masih ragu dan tak percaya seorang di negara berbeda berada di sini. "aku juga ga percaya Na, tapi emang dia, jelas banget tai lalat kecil di ujung rahangnya, aku ingat banget dan mukanya persis banget, pantas aja suaranya kayak ga asing" jelasku panjang. "karna itu kamu sampe muncrat gitu? hahaha asli parah plus ngakak Ta" geli Nana walau masih percaya dan tidak percaya. "tai lalat itu umum, biar jelas kita tanya aja dia, asli penasaran banget aku Ta. ayook" ajak Nana bermaksud kembali ke kantin ujung. Namun aku menolaknya tak lama setelahnya bel berbunyi memaksa kami harus segera melangkah lebih cepat menuju kelas sebab mata pelajaran Sosiologi Bu Erika si guru killer.

Sepanjangan pelajaran super membosankan, ibu killer ini yang sejak masuk hanya bercerita tentang isi buku membuatku tak tertarik untuk kosentrasi pada yang diajarkan terlebih lagi perasaanku campur aduk setelah kejadian di kantin tadi, tegang, bingug, senang, dan takut bercampur aduk. "benarkah dia orang ku puji malam itu? atau cuma mirip? tapi aku yakin itu dia" batinku yang juga sebenarnya tak kalah tak percayanya dari Nana.

"masih mikirin dia?" tanya Tata dibalik buku tulisnya paling belakang seolah media pengubung suara agar suara kami tak terdengar. "tau Na, sekarang malah ragu" jawabku lagi menyodorkan buku tulis yang telah berisi balasanku itu. "nah tu kan, yakin deh bukan bule Amerika" balas Nana lagi diiringi ekspresi tanpa suaranya. "tapi emang dia Na, kira-kira cinta pertama yang kamu bilang malam itu beneran ga sih Na?" tanyaku pada Nana, namun belum sempat sampai di tangan Nana tiba-tiba buku tulis itu malah ditarik paksa oleh tangan yang lebih besar ukurannya dari tangan kami dan tentunya dipenuhi urat yang nyaris keluar dari kulitnya, ya ibu Erika memergoki kami yang sedang surat menyurat di jam pelajarannya.

PUTARANWhere stories live. Discover now