Chapter 7

495 83 54
                                    

Hari telah berganti dan kini di hadapan kami, para pelayan cafe, berdiri orang yang kemarin sore datang dan menemui Mafu, namun ia tidak membawa rakun kesayangannya.

"Baiklah, mulai hari ini Urata-san akan menjadi karyawan tetap di sini sebagai chef dan butler. Tolong bersikap baik padanya, sekian," Ucap Reol singkat, padat, jelas.

Ngomong-ngomong soal buttler, maid cafe ini memang dua minggu sekali berubah menjadi buttler cafe, lebih tepatnya saat hari minggu dan senin. Katanya sih buat ganti suasana aja.

"Oh ya, Urata-san, jika kau butuh apa-apa atau ada yang tidak kau mengerti, kau dapat bertanya pada [y/n] selaku pembimbingmu," Ucap Reol lag- TUNGGU, AKU?!

"Kenapa aku? Aku baru saja masuk kemarin!" Perotesku.

Reol menghela nafas, "Apakah kau belum tahu peraturan di sini?" Aku menggeleng pelan.

"Peraturan yang berbunyi 'tak ada seorang pun yang tidak memiliki pasangan' jadi maksudnya setiap karyawan harus punya partner gitu, gue gasuka angka ganjil soalnya, makannya gue buka lowongan kerja di selebaran kemaren," Jelasnya panjang lebar. Meskipun begitu, menurutku itu adalah peraturan yang cukup ambigu.

Aku menghela nafas pelan, lalu mau tak mau meng'iya'kan ucapan Kanjeng Ratu Reol ini.

"Oke bubar, lima menit lagi buka cafe," Reol menepuk kedua telapak tangannya berapa kali dan semua karyawan pun mengambil posisinya masing-masing.

Dua jam berlalu, untunglah tak ada masalah sedikitpun pada Urata. Yah, semoga saja. Sialnya aku teringat seseorang yang pernah berkata 'Ketika semua rencana telah berjalan dengan lancar, maka tak lama kemudian kekacauan akan datang'.

Dan benar saja, tak ada hitungan menit, tanpa sengaja aku menabrak Urata yang tengah berjalan menuju dapur, ia terlihat membawa nampan berisi gelas dan piring kotor.

Brug! PRANG!!

Nampan berisi piring dan gelas itu sukses terjun bebas dari tangannya. Suara gelas kaca dan piring kramik yang pecah karna menghantam porselen berhasil memancing perhatian tiap individu yang berada di ruangan ini.

"Itu matanya tolong jangan meleng ya," Ucapnya, lalu ia berjongkok dan memunguti bering yang berserakan.

"G-Gomenasai!" Seruku. Karna merasa tak enak, aku ikut berjongkok dan memunguti serpihan kaca itu.

"Biar aku saja, nanti kau-- Maksudku-- Nanti Senpai terluk---" Baru saja Urata akan menepis tanganku, namun terlambat.

"Akh--!!" Aku memekik kecil saat jari telunjuk di tangan kananku ku tergores beling dan mengeluarkan darah.

Urata terlihat agak panik, "Perlihatkan padaku!" Ucapnya setengah berseru, ia menarik pergelangan tangan kananku yang terluka dengan lembut dan mengemut jari telunjukku untuk menghentikan darah yang terus keluar.

Hal ini boleh saja dilakukan karna dapar mencegah infeksi, namun hal ini hanya dapat dijadikan sebagai tindakan pertolongan pertama, untuk meredakan perih atau menghilangkan darahnya.

Tetapi, hal aneh kembali terjadi. Jantungku berdebar dengan kencang, ada apa ini?! Aku benar-benar tidak mengerti! Wajahku juga rasanya seperti memanas!

Aku menarik paksa tanganku, "T-terima kasih," lalu menunduk memandang pecahan beling. Aku berniat membantunya lagi tapi kali ini tangan Urata berhasil mencegahku.

"Obati saja dulu lukamu, di sini biar aku yang bereskan, Senpai," Ucapnya dengan menatapku tepat di mata, membuatku kembali terpaku dengan keindahan manik emeralnya.

Urata membersihkan pecahan kaca itu dengan cepat, setelahnya ia kembali berjalan menuju dapur meninggalkanku yang masih mematung, sesaat kemudian aku teringat panggilan yang ia berikan untukku 'Senpai, katanya?'.

Sweet Memories! (USSS X Reader!)Where stories live. Discover now