Berjuang

4.4K 1.4K 82
                                    

Bengkel motor antik dekat SMAnya selalu jadi tempat Junot mampir kala pulang sekolah, Junot merasa menemukan dirinya yang hilang di bengkel ini.

"Eh, bawa baju ganti lo Hari ini?"

Nareshta teman Karin yang bekerja sampingan di Bengkel yang katanya juga milik bapak teman baiknya menatap heran Junot, Junot memang mengatakan tertarik kala Naresh membongkar mesin, memperbaiki dan memasangnya kembali seolah ada keajaiban di tangannya. Junot kagum.

"Iya, sempit gue pakai baju lo,. Junot menjulurkan lidah, Naresh mengernyit malas.

"Mentang-mentang body lo bagus terus gue ceking maksud lo?" 

Junot hanya menyengir menjawab pertanyaan Narestha itu.

"Bukan gue yang bilang ya, elo sendiri."

"Ya udah sini, bantuin gue bongkar motor pak RT." Ajaknya kemudian.

"Karburator kotor, padahal kalau vespa tua tuh karburator harus sering dibersihin, nih businya juga harus diganti," Naresh menujukkan pada Junot setiap komponen motor yang harus diperbaikinya itu.

"Oke gue ngurusin businya,"

Naresh melirik Junot horror.

"Guekan pemula Na, gue mana tahu bersihin karburator. Lagian gue juga gak dibayar, cuma bantuin elo." Junot memanyunkan bibirnya, Nareshta menyerah karena Junot benar. Junot memang hanya sukarelawan di bengkel milik ayah temannya ini.

"Ah, banyak nih yang musti di perbaikin, kita makan siang aja dululah sebelum penuh oli ini tangan. Kebetulan ada bakso gerobak noh depan komplek." Nareshta bangkit diikuti Junot.

Masih dengan celana abu-abu namun kaos dekil sebagai atasannya, sendal jepit kebesaran milik pemilik bengkel, Junot duduk di bangku kayu milik tukang bakso gerobak sembari menatap sebuah rumah di hadapannya.

"Bang, dua ya. Yang satu gak pakai micin sama mie, takut botak teman saya," Pesan Naresh yang kemudian duduk di samping Junot yang belum melepaskan pandangnnya.

"Not?" Panggil Naresh.

"Elo belum denger kabar tentang Karina Na?"

Nareshta menghela nafas dan ikut menatap rumah yang kini kosong itu, hampir setahun lebih Karin sudah tidak tinggal di sana dan juga sudah setahun lebih Junot mengikutinya karena hanya Naresh teman Karin yang dikenalnya.

Naresh memang cukup dekat dengan Karin, bahkan vespa ayah Karin masih ada di bengkel Naresh, usang, rusak dan ditinggalkan.

"Belum," Naresh tersenyum lalu kemudian menyikut Junot di sampingnya.

"Ah, gue ngambek ah. Elo temenan sama gue cuma gara-gara Karin. Aku hanya pelampiasan bagi mu Mas Junot!" Naresh mendramatisir hingga Junot berbalik dan mendorong kepala pemuda itu keras.

"Gara-gara kelakuan elo ini nih yang bikin anak-anak kita berdua homo!" Junot bergedik, Nareshta menyengir gembira.

"Makasih bang." Naresh menerima mangkuk bakso dan langsung melahapnya.

"Eh Not, udah daftar Universitas belom lo?"

"Belum, gue nungguin elo. Bareng. Hehe."

Nareshta mencibik.

"Gara-gara kelakuan elo ini nih yang bikin anak-anak kita berdua homo!" Nareshta membalikkan kata-kata Junot hingga membuat temannya itu hampir tersedak kuah bakso karena tertawa keras.

"Kira-kira Karin kuliah di mana ya Na?" Junot bermonolog namun malah membawa sebuah memori ke otak Nareshta kala Karina duduk di kantin bersamanya dan teman-teman lainya.

"Elo mau lanjut dimana Rin?"

"Ehm, gue pengen kuliah di manapun kampus cowok gue Junot lanjut. Dia bakal ngambil kedokteran gue bakal ngambil Teknik Mesin," Jawab Karin.

"Elo cewek Rin!"

"Lah emang gak boleh cewek ngambil Teknik Mesin? Emansipasi bro! Tapi pasti Junot bakal lulus di universitas negeri bergengsi, gue paling di kampus swasta. Kampus swasta paling bagus dan ada fakultas tekniknya di Makassar apa ya Na?" 

Naresh menggedikkan bahunya.

"Banyak sih. Emang elo gak mau nyoba ke Universitas negeri dulu?" Tawarnya.

Karin menggeleng. "Otak guekan pas-pasan Nareshta tapi bakal tetep ikut tesnya sih, Btw gue ke sana dulu, udah ada Junot tuh. Dah! Eh, kita bareng masuk Teknik mesinnya!"

"Gak mau! Bosen gue liat elo mulu!"

Junot menatap Naresh tiba-tiba cuek dengan baksonya, temannya itu malah melamun. Takut kesambet, Junotpun menepuk pundaknya.

"WOY!"

"Gue tahu Karin mau lanjut dimana."

"Uhuk!" Junot tersendak.

"Dimana? Kok elo bisa tahu? Elo dapet ilham pas ngelamun tadi?"

Naresh mengangguk.

"Dia mau ngambil Teknik mesin, kampusnya gue tahu pokoknya!" Naresh kemudian menatap Junot ragu.

"Elo mau ngambil jurusan kedokterankan?"

"Iya sih tapi—"

Junot berpikir sejenak.

"Elo yakinkan Karin bakalan masuk Universtitas itu Na?"

"1000% Gue pernah diskusi sama dia mau lanjut kemana, gue yakin sih Karin bakal ke sana. Dia gak neko-neko, satu tetep satu, kanan ya kanan, kiri ya kiri. Pilihannya susah berubah. Tapi pertanyaan gue elo siap ngambil resiko ngebuang kedokteran dan kuliah Teknik mesin?"

Junot tersenyum.

"Gue gak mau jadi pengecut lagi, gue udah janji sama diri gue sendiri buat ngejar Karin kemanapun. Lagian gue gak pengen-pengen banget jadi dokter."

Semenjak Karin pergi, Junot sudah membuka topengnya perlahan-lahan, ia sudah memilih jalan untuk membahagiakan dirinya sendiri. Karena hidupnya ya miliknya, tidak ada yang berhak mengatur mimpinya termasuk orang tuanya.

Ya, Junot memilih berjuang di jalannya dan bahagia pada waktunya.

Ya, Junot memilih berjuang di jalannya dan bahagia pada waktunya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-To be continued -

(Don't forget to touch the stars Button if you like the story 😊 👉🌟) 

PAPER UMBRELLAWhere stories live. Discover now