Jengah

14 1 0
                                    

Jenuh. Menghitam dan mendekam di dalam lubuk jiwa terdalam
Aku terdiam. Berpeluh. Kepulan asap dari mulutku belum lagi berhenti, padahal sekarang hari sudah malam. Pukul 23:42, kulihat jam tanganku.

Harus berapa lama lagi, aku memikirkan hal ini?

Kupikir menjadi dewasa itu jauh lebih menyenangkan. Tapi setelah kukenangkan, aku ingin kembali menjadi aku yang dulu. Tak akan ku dipaksa oleh keadaan, untuk melewati semua ini.

Bila aku menangis, dibilang lemah. Bila aku menjerit, dibilang kampungan. Bila aku cari bantuan, aku dihina. Bila aku curhat, jadi topik gosipan paling sempurna. Bila aku menulis di platform, dibilang tukang galau. Bila aku hanya sendiri, aku stress. Lalu, aku harus bagaimana?

Resonansi waktu, mungkin begitu singkat. Seperti baru kemarin aku melewati masa bahagiaku, masa tawaku. Kini, ada saja yang menjadi resahku. Tunggu, apakah kau merasakan sama denganku? Aku penasaran, jawablah.

Kutunggu-tunggu ilham. Telah kuhabiskan berbatang-batang dan berbungkus, tetap saja ia tak kunjung hadir. Padahal kalau ia hadir, sudah kusiapkan tempat yang layak untuknya, yang bisa aku dapatkan tadi sore, saat aku membeli rokok di supermarket paling terkenal itu. Notebook kecil dan pena empat warna. Bagus sekali, bukan? Ini agar dapat kukurung ia supaya tidak pergi-pergi lagi.

Bukannya apa, saat menghilang, susah sekali mencarinya lagi. Bahkan ojek daring yang punya ratusan ribu armada pun tak mampu mencarinya. Sudah pernah kucoba.

Disaat-saat seperti ini, malah, pikiran-pikiran aneh yang hadir. Mereka tidak diundang, tapi nyelonong sendiri, tidak tahu sopan santun. Aku berandai-andai tentang Doraemon, pastilah hidupku jauh lebih mudah bila memilikinya. Tidak seperti Nobita, aku akan lebih bijak.

Ada pula yang mengingatkan, besok harus berangkat lagi. Pagi-pagi. Temui tumpukan pekerjaan itu lagi. Orang-orang yang sama lagi. Tempat yang sama lagi. Meja yang itu-itu lagi.

Bisakah, aku berhenti?

Tentu saja, tapi...

Aku mungkin tidak punya pilihan lain saat ini, maka dari itu aku terus bercerita pada diri sendiri. Menghibur sistem-sistem sarafku, agar mau bekerjasama dan tidak memikirkan diri mereka sendiri. Aku sedang butuh solusi.

Mereka bilang, kebosanan itu ilusi. Bosan itu tidak ada, hanya bagaimana kau mengakalinya. Mereka bodoh. Lebih bodoh lagi orang-orang yang mau membeli omong kosong mereka. Buku-buku, seminar, pelatihan? Apa itu! Jaman sudah canggih. Hal-hal seperti itu semua ada di Yutub, Fesbuk dan Gugel. Gratis!

Aku bingung, bagaimana dunia ini bekerja. Katanya, dunia ini dikendalilan oleh orang-orang elit yang memanipulasi semuanya. Lalu, dimanakah eksistensi Tuhan, bila opini mereka benar? Bukankah, Tuhan lebih berkuasa atas segala sesuatu? Atas mereka?

Katanya, uang kertas yang kita gunakan sehari-hari, adalah bentuk pembodohan yang nyata. Kriminalitas yang dilegalkan. Bank bisa mencetak sesuka hati mereka, dan meminjamkan dengan bunga dari uang yang awalnya tidak ada. Padahal, aku disini susah-susah mengumpulkannya. Mereka enak saja tinggal cetak.

Katanya, demokrasi adalah hak kita semua. Hak berpendapat, hak memberikan suara, dan hak memeluk keyakinan. Tapi, sering aku liat di TV dan sosial media, tidak seperti itu. Aku, berfikir demokrasi cuma ilusi di dalam kepala kau dan aku. Apakah, kau juga berfikir begitu?

Gerakku lamban. Banyak waktu terbuang. Aki menunggu keberuntungan, mengharapkan keniscayaan, tapi yang kudapatkan jauh berbeda dari apa yang ada diangan. Apa rahasia mereka, semua? Kerja keras? Itu, mbok Darmi, kerja keras memungut sampah di jalan raya sudah 15 tahun, tetap saja seperti itu. Itu, pak Kasman, sudah 6 tahun bekerja jadi kurir ekspedisi, tetap saja seperti itu.

Kugoncang kotak rokokku. Sudah habis. Ini batang terakhir. Ilham sama sekali tidak hadir. Malam ini, aku menyerah. Mataku sudah mulai merongrong sejak sepuluh menit yang lalu.

Aku, jenuh.

***

Scrabble, Jenuh. 9 Januari 2019. 07:22 WIB.

Hak cipta dilindungi.

ScrabbleWhere stories live. Discover now