And There'll be War

1K 108 21
                                    

~Angel With a Glasses~

By: TsubasaKEI

Don't try to make it yours!

Enjoy~

---------------------------------------------
Chapter 3: And There'll be War

Hutan Białowieża bisa dibilang sebagai salah satu hutan tertua di dunia. Rumah dari 800 bison Eropa yang menjadi buruan turis yang tengah bertamasya mau sebau apapun kotorannya. Pohon ek tersebar di sepanjang hutan. Batangnya yang berumur ditinggali lumut dan fungi beraneka jenis. Bias cahaya hangat yang kontras dengan udara dingin menyisip dari sela-sela daun di atas.

Di sana ada juga jalan setapak dari batu untuk turis. Penjaga setempat memutuskan lebih baik bekerja membuat jalan ketimbang harus mencari turis yang tersesat.

Itu sih, hiruk pikuk yang terjadi di sana. Tapi di sini; di balik semak belukar yang tebal, melewati parit yang dalam, tidak ada satupun jalan setapak yang nampak. Kalau pun ada, mungkin kau hanya akan mendapatkan jalan buntu pada akhirnya, atau mungkin kau akan bertemu salah satu penjaga hutan yang keheranan kenapa bisa ada orang di jalur non turis. Yah, orang tersesat memang hal yang wajar.

Tapi itu hanya terjadi kalau kau mondar-mandir asal tidak punya tujuan selain mengambil foto.

Jika kau tahu apa yang harus kau lihat di antara semua kuning dan hijau yang terpampang, kau akan menyadari bahwa dahan pohon ek yang menjulang beratus-ratus meter ke atas sebenarnya tengah berusaha menyapamu. Ranting mereka bergetar tanpa bantuan angin. Dedaunan kuning jatuh berguguran. Kalau kita menyadari hal itu dan membalas lambaian mereka dengan senyum manis, akan terdengar suara patahan keras yang menyakitkan, seperti sambaran petir. Tapi jangan khawatir, pohon-pohon tua itu hanya membunyikan sendi mereka yang jarang mereka gerakkan. Mereka bergerak lamban, meregangkan jarak di antara setiap pohon dengan melebarkan setiap ranting, dan membukakan jalan setapak baru untuk kita lewati, lengkap dengan lengkungan dahan di atas kepala saat kita berjalan melewatinya. Pandangan yang romantis, seperti menyusuri altar pernikahan.

Ocho melompat-lompat girang menuju ujung terowongan. Pohon ek yang ia dadahi tadi sempat enggan untuk membiarkannya lewat. Tapi Ocho bersikukuh terus melambai-lambai hingga pohon itu menyerah dan menunjukkan jalannya. Ocho bersorak penuh kemenangan dan kembali berjingkat menuju terowongan ajaib itu.

Tentunya tidak semua yang tahu harus melihat apa dibolehkan untuk diberi jalan. Terkadang—seringnya—ada mereka yang berniat jahat untuk mengganggu hal yang seharusnya tidak diganggu. Ocho bukan termasuk kategori yang buruk, buktinya pohon-pohon itu masih mau memberinya jalan. Hanya saja, mereka sedikit...uh, trauma.

Ocho bersenandung riang, layaknya anak kecil yang bertamasya ke tengah hutan seorang diri tanpa terlalu mempedulikan keamanannya. Ocho mengenakan topi jerami dan sepatu gunung, jaket hitam tebal membalut porosnya yang kecil. Seorang kakek tua merasa kasihan ketika melihat dirinya yang berpakaian tipis berkelana sendirian. Dia menepuk-nepuk pundak Ocho dengan lembut dan memberikan sebuah jaket dan sepatu gunung yang kebetulan sekali muat untuk tubuhnya. Ocho tersenyum lima jari, memeluk kakek itu erat, dan berlari menjauh meneriakan 'Thank you, Sir!' padanya.

Ocho mendapati jalannya dihadang sederet pohon. Ia tidak melihat ada celah. Jika Ocho adalah turis mungkin ia sudah menggerutu dan berbalik arah. Tapi Ocho tidak menjadi ragu. Matanya menyala biru dan seketika ilusi itu luluh, menunjukan sebuah pondok tua dibaliknya. Ocho langsung mencium bau melati yang menyengat, sebuah anugrah setelah mencium bau kotoran bison selama beberapa kilometer ke belakang. Ocho membenarkan topinya, merapihkan kerutan dan membersihkan tanah dari bajunya. Ia berdeham dan memasang senyum termanisnya. Ocho lalu mengetuk pintu lapuk yang berlumut itu dengan irama unik—dua ketuk, diam sedetik, satu ketuk, dan tiga ketukan cepat.

Angel With a Glasses Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang