Bab 1: Milis (Mimpi dua Penulis)

268 13 15
                                    

Impian itu akan semu jika kita tidak melangkah untuk menjadikannya nyata

- Ashfie - 

Ditemani backpack berwarna navy aku beranjak dari kursi panjang, kutinggalkan boarding room yang mulai sepi menuju boarding dengan perasaan bimbang. Akankah langkah yang aku ambil hari ini benar? Apakah keputusan ini adalah yang terbaik? Sedang dua orang yang aku cintai tak merestui kepergianku kali ini.

Aku tau mereka sangat mengkhawatirkanku, terlebih dengan rencana besar yang maha penting yang tengah dipersiapkan dengan segala kesibukannya. Bukan sekedar ingin aku ikut serta mempersiapkannya namun agar aku tidak menghamburkan uang untuk hal yang tidak penting. Ah ya, mereka menganggap perjalananku ini tidak penting, namun bagiku ini adalah hal yang amat penting, antara impian dan masa depanku.

Padahal aku telah menuruti keinginan mereka meski sampai detik ini aku belum bisa untuk sekedar menerima takdir yang diperkenankan untukku. Aku selalu bertanya apa iya ini takdirku? sedangkan hati belum dapat menerimanya dan masih mengharapkan takdir yang lain.

Sejak saat itu hari-hariku mulai tak karuan, rasanya cahaya itu telah redup dan aku tak punya apa-apa lagi untuk diperjuangkan. Sebelum cahaya itu benar-benar mati aku memutuskan untuk pergi. Untuk kembali menghidupkannya. Entah bagaimana caranya.

Jujur perjalanan ini sudah aku rencanakan jauh sebelumnya. Sejak mimpi itu mulai kubangun bersama dengan sosok manis yang kini entah bagaimana kabarnya. Sudah hampir 1 tahun lebih ia menghilang.

Bertemu dengannya sungguh diluar dugaan. Kami dipertemukan di sebuah grup whatsapp kepenulisan, namanya Perinti Challenge dimana anggota diharuskan menulis setiap harinya, one day one article, grup tersebut selalu ramai namun perempuan berkacamata itu tak pernah muncul, sekedar bersapa riapun amat jarang sekali mungkin hanya pada saat awal grup dibentuk. Maka Iapun dijuluki sebagai silentreader.

Aku pikir dia adalah salah satu orang yang sombong dalam artian tidak senang bergaul, namun padanganku terhadapnya mulai berubah tatkala suatu kali aku menyapanya secara personal, ternyata dia adalah sosok yang ramah dan apa adanya, tidak banyak basa-basi dan menjawab seperlunya, tidak seperti diriku yang terlalu bersemangat dan banyak basa-basi. Ia tak sekaku yang kubayangkan. Sejak saat itu kami mulai akrab.

Ia tipikal yang pendiam dan serius namun menyenangkan dan cerdas, penyayang dan suka hal-hal baru. Intinya aku dan dia saling tahu apapun detail tentang satu sama lain. Sayangnya kami belum pernah bertemu, kami terpisah oleh jarak dua benua. Ya dia kuliah di Turki tepatnya di kota Adana, sedangkan aku di Indonesia.

aku tahu jarak bukanlah penghalang dalam persahabatan, apalagi di zaman modern dan canggih sepeti saat ini. Maka ia terasa begitu dekat. Kami saling mengerti meski belum pernah dipertemukan, saling memahami meski kami terpaut berkilo-kilo meter jauhnya, saling menyemangati meski kadang sibuk dengan kegiatan masing-masing, saling menyanyangi meski berbeda karakter, dan kami seperti saudara yang sulit sekali untuk bilang tidak pernah rindu. Pasti disetiap email yang kami tulis selalu ada kata rindu.

Bersamanya aku membuat sebuah project berupa blog berjudul "Hangout Diaries" yang berisi tentang cerita perjalanan kami ke beberapa tempat, tips dan hal lain yang berkaitan tentang traveling. Mungkin hobi yang sama inilah yang membuat kami masih berkomunikasi meski kegiatan dari Perintis Challenge telah usai. Project ini membuat kami lebih sering berkomunikasi via mailing list (Milis) meski isi groupnya hanya kami berdua. 

 

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.
JarakOnde histórias criam vida. Descubra agora