Bab 3: Blog (Break the Limit! Or you never Go on)

64 7 5
                                    

Ada yang mudah meraih mimpinya dan ada orang yang harus berjuang lebih keras lagi untuk meraih mimpi itu, tidak perlu berkecil hati karna setiap orang memiliki kisah perjuangannya masing-masing

-Ashfie-

Perempuan semampai berwajah arab dengan rambut digelung rapi berhias topi merah maroon senada dengan warna seragamnya menyapaku ramah, mengingatkanku untuk segera mematikan handphone saat melihatku masih menyalakannya ketika burung besi ini telah mengangkasa. Ini sudah yang kedua kalinya ia menghampiri dan mengingatkanku untuk segera mematikan handphone meski sebenarnya internetku sudah ku matikan sejak beberapa menit yang lalu. Aku masih belum mematikannya karena pesan yang dikirim sahabat karibku lewat whatsapp ini membuatku terdiam menatap layar handphone.

Alula
Fi, kamu benar-benar pergi?

Kamu yakin?

Aku harap keputusanmu pergi bukan karena dia

Kamu hati-hati ya, kabari aku selalu...

Namanya Alula, gadis modis penyuka warna-warna pastel ini sahabat terdekatku, ia memiliki cita-cita menjadi designer muslimah maka tak salah gaya berbusananya sangat fashionable, terkadang Ia memperhatikan gaya berbusanaku dan menyarankan beberapa baju atau dress yang bagus untuk aku kenakan, kini Ia berstatus sebagai karyawan disalah satu e-commerse terkenal di indonesia, sedikit mendukung cita-citanya sebenarnya namun ia belum berani untuk merintis brand sendiri dalam bidang fashion, sudah sering sekali aku mendukung dan menyemangatinya untuk memulai, lagi-lagi alasannya: waktu yang belum tepat, terlebih dengan modal yang dimiliki.

Ia satu-satunya orang yang banyak mengetahui tentangku melebihi kedua orang tuaku sendiri, Ia pun mengenal sosok Asmi dan orang-orang yang dekat denganku, rasanya seperti saudara kandung. Kami saling kenal karena satu jurusan dan satu kelas. Kami sama-sama murtad dari jurusan yang kami geluti, Pendidikan Bahasa Arab. Kalau ia bekerja di salah satu e-commerse, aku bekerja disalah satu bidang tour and travel, sebenarnya sesuai dengan passionku yang senang berkelana, sayangnya aku hanya menjadi karyawan yang stay di kantor.

Alula pula yang paling tahu mengapa kini aku melarikan diri. Maka tak salah jika ia menyerbu chatku. Tentu ia khawatir, aku selalu pergi bersamanya kini aku pergi sendiri. Aku tak ingin melibatkannya dalam pelarian ini. Tunggu, ini bukan pelarian tapi lebih penting dari itu.

Satupun pesannya tidak ada yang kubalas. Bukan karena ada yang salah dari kata-katanya melainkan persendian otakku mulai dipenuhi rasa kalut mengingat kata "dia" yang disebut oleh Alula. Aku mengerti orang yang dimaksud Alula. Sosok yang pernah menjadi bagian dari masa laluku. Yang menumbuhkan banyak harapan dalam hati.

Hari itu di ruang tunggu Lab Bahasa, saat air langit membasahi tanah menciptakan petricor, seperti halnya air mata yang menciptakan basah dikedua belah pipi chubbyku karena kertas yang baru saja kuterima. Ini sudah ujian Toaflku yang ke-5 namun nyatanya sia-sia, skor yang kudapat belum mencapai angka minimal, masih 456 sedang aku harus mencaapai 500 atau lebih untuk dinyatakan lulus ujian Toafl. Remuk dada ini. Mengapa sulit sekali untuk lulus? Apa yang harus aku katakan pada ayah dan ibu jika menanyakan kelulusanku lagi? Tangisku semakin menjadi-jadi. Rasanya tangis yang akhir-akhir menjadi teman setiaku.

"Fi, kamu kenapa?" Tanya sosok laki-laki memakai kaos oblong berwarna putih dilapisi kemeja kotak-kotak biru tosca lengan panjang yang ujungnya dilipat asal memperlihatkan jam tangan hitam di tangan kirinya.

"Eh Nggak, nggak apa-apa." Segera kuhapus sisa tangis yang tadi luruh.

"Serius?" Tampaknya Ia tak percaya karna melihat mataku yang mungkin sembab oleh tangis tadi.

JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang