Bab 5 : Telegram (Tell the Truth Or You'll Regret That Much)

63 6 4
                                    

Aku akan pergi kemanapun Allah langkahkan kaki ini

-Ashfi-

Kurasa setiap orang berhak mewujudkan mimpinya masing-masing, dan inilah mimpiku berada di negri lahirnya penakluk konstatinopel. Sungguh aku tak pernah membayangkan bisa senekat ini terbang seorang diri dengan membawa banyak harapan dan mimpi. Menginjakkan kaki di negri yang dulu hanya tertuang dalam bait-bait doa dan tertulis dalam lembaran mimpi.

Namun satu harapan besarku hancur lebur seketika setibanya aku di ibukota negri kebab ini, kenyataan yang menciptakan sesak yang menghimpit dada dan perih yang mengoyak-oyak perasaan. Teringat pertemuan dengannya kemarin yang menghunus pedang luka teramat dalam.

-----

"Serius? Tunggu gue akan meluncur." balasnya lewat telegram saat aku mengirimkan foto duduk di sebuah kafe yang mungkin amat Ia kenal. Kemudian Ia menyerbuku dengan stiker-stiker lucu

Kami memang terbiasa chat lewat telegram karna banyak stiker-stiker lucu tapi lebih sering menggunakan whatsapp.

"Oke." jawabku singkat dibarengi dengan stiker lucu beruang menggemaskan.

Ruang yang lenggang dipenuhi aksesoris rumahan yang homey ini terasa amat sunyi. Aku menunggunya dengan perasaan harap-harap cemas di sebuah kursi dan meja  berwarna putih beralaskan taplak ungu di pojok ruangan persis di dekat jendela kaca besar yang memperlihatkan luar kafe dengan pemandangan cantik dari pot-pot yang tergantung rapi di pagar, kafe ini berada tepat di sebrang Indonesian Embassy

Sedikit bimbang untuk benar-benar melaksanakan apa yang disarankan Alula padaku. Namun akupun tak bisa memendam lebih lama lagi dan membiarkan waktuku tergerus begitu saja. Sebelum semuanya terlambat dan menyesal seumur hidupku, aku harus memberanikan diri untuk mengatakannya.

Jika saja Ia memahami perasaanku atau mungkin aku tau bagaimana perasaannya padaku mungkin tak sesulit ini, mungkin dengan mudahnya aku bisa menolak perjodohan itu dan menunggunya kembali. Tapi sebagaimanapun menolaknya tetap ayah adalah ayah yang kokoh pendiriannya yang jika bicara A harus A, dan yang Ayah inginkan adalah aku menuruti keinginannya.

"Kamu mau cari yang bagimana lagi? Dia baik agamanya, berpendidikan, karirnya bagus. Kamu itu perempuan! Tidak baik menolak laki-laki baik, tidak baik pilah pilih, memang kamu ada pilihan lain? Kalau ada tunjukkan ke ayah, seberapa baik dari calon yang ayah kasih."

Mendengar kata-kata itu aku hanya diam tak bisa menjawab apapun. Sebagaimanapun aku menjelaskan tentang keraguanku mengenai perjodohan itu, sebagaimana aku memberikan pengertian tetap saja aku tak bisa memberi tahu siapa orang yang aku harapkan, orang yang aku ingikan, karena akupun belum tahu tentang apakah dia memiliki rasa yang sama, keinginan yang sama denganku. Sebelum itu semua ada kejelasannya aku tetap harus mengikuti keinginan ayah. Termasuk bertemu dengan laki-laki yang ayah calonkan untukku.

Laki-laki putih berambut rapih dengan kacamata yang membingkai mata sipitnya itu memang baik, tidak ada yang salah namun sayangnya hati ini masih terpaut oleh rasa yang telah lama singgah, dan sebaik apapun sebagus apapun dia di mata orang lain tetap aku belum tertarik. Maafkan aku ayah tapi aku tak bisa membohongi hatiku. Sedang waktu berjalan tanpa jeda, hingga aku harus mengetahui pernyataan dari ayah yang harus aku terima. Ya Rabb, mengapa pilihan ini begitu sulit rasanya.

Rasa itu semakin tak karuan tatkala sosok tinggi berkemeja softblue berjalan menuju mejaku. Jantung serasa bekerja dua kali lipat dari biasanya. Kata-kata yang sedari tadi ingin kusampaikan tiba-tiba terasa sulit untuk diungkapkan. Bagaimana ini?

aku berdiri menyambutnya, Ia tersenyum sangat ramah padaku menampakkan gigi kelincinya yang manis.

"Assamalamualaikum Ashfi, apa kabar? Gue nggak nyangka kamu berada disini. Ma sha Allah benar-benar kejutan." Ujarnya menarik kursi di sebrangku kemudian duduk.

JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang