10. What I Feel

4.5K 422 22
                                    

Mimpinya tentang Singto membuat Krist merasakan tamparan pada wajahnya. Seakan menyadarkan Krist akan posisinya. Seakan menyadarkan Krist bahwa mereka memang mempunyai ikatan hubungan. Bahkan Krist bermimpi tubuh Singto menyatu kedalam tubuhnya. Krist tidak bodoh. Mimpi tersebut seakan menjadi alarm pengingatnya. Kembali membawa Krist kedalam kenyataan.

Krist memandang kosong sepasang sepatu yang ia kenakan. Sudahkah ia  menepati janjinya dengan Daddy dan Mommy? Tenggorokan Krist tercekat. Kenapa dirinya yang masih begitu muda dengan gampangnya mengucapkan sebuah janji? Tapi, jika itu sebuah janji yang harus ia tepati untuk kedua orang tua tersebut, Krist tentu akan bersedia.

Krist hanya tidak tahu, langkah apa yang harus ia gunakan untuk menepati janji tersebut. Atau, tanpa sadar Krist sudah menepati janjinya?

Itu tidak mungkin. Selama ini Singto selalu membuatnya marah dan kecewa. Krist membencinya. Tapi, bukan benci seperti itu yang Krist rasakan. Mungkin Singto mempunyai alsannya tersendiri. Seharusnya Krist lebih mengerti dirinya. Seharusnya Krist menemani dan menjaganya bukan? Seperti janji yang telah ia ucapkan.

Krist teringat, Singto telah merawatnya pada saat sakit, salahkan dirinya yang tetap memilih berangkat sekolah disaat tubuhnya demam. Ini menjadi terbalik. Seharusnya ia yang menjaga dan merawat Singto. Hati Krist menghangat. Singto memang tidak seburuk yang ia pikirkan. Pantas saja, hatinya selalu menyangkal pikiran, meski Singto suka sekali menjahilinya.

“Krist..Krist...HEI! KAU—“

Ah! Krist mendongak melihat Chimon yang sedang berkacak pinggang.

“Y-ya?”

Chimon menggelengkan kepalanya. “Kau sejak tadi hanya diam melamun! Kau bahkan mengabaikanku yang sejak tadi berteriak memanggilmu!” Krist menggaruk belakang lehernya. Memangnya ada apa?

“Astaga! Kau masih belum sadar ternyata. Cepat ganti seragammu atau kita akan melewatkan jam olahraga!”

Mata Krist membulat beberapa detik kemudian ia beranjak pergi, bergegas membuka loker miliknya dan berganti seragam olahraga.

Chimon kembali menggeleng pelan. Boom yang berada disampingnya hanya menepuk bahu Chimon beberapa kali, menenangkan temannya tersebut. Mata besar Boom beralih kedepan, melihat Krist yang sedang melepas kemeja putihnya. Mulut Boom terbuka sedikit. Sebelumnya ia tidak pernah melihat tubuh setengah telanjang Krist. Tapi kini, pemandangan apa ini. Ia bahkan tidak bisa mengalihkan tatapannya pada tubuh mulus, putih, tanpa cacat milik Krist.

“Ayo kita pergi!”

Krist sudah berada didepannya tapi tetap saja Boom masih belum bisa kembali sadar. Bagaikan potongan klip video yang bergerak lambat. Benar-benar pemandangan yang menarik. Astaga! Bagaimana bisa ia memikirkan hal tersebut disaat temannya adalah seorang laki-laki! Boom menggeleng beberapa kali untuk menyadarkan dirinya sendiri.

“Kau kenapa, Boom?” Krist bertanya. “Ah! T-tidak ada apa-apa!” jawab Boom. “Benarkah? Wajahmu memerah! Apa kau demam?” Chimon bertanya dengan penasaran. “Tidak! Ayo kita bergegas.”

Semua siswa kelasnya sudah berkumpul di dalam gedung orlahraga. Untung saja gedung olahraganya sudah diperbaiki, jika tidak, mungkin Krist akan terkena terik matahari. Krist sedang tidak dalam mood yang baik, kepalanya pasti akan lebih meledak jika terkena panasnya matahari.

Sudah setengah jam berlalu. Seorang temannya berlari memasuki lapangan. Itu adalah wakil ketua kelas. Memberi informasi jika guru olahraga mereka sedang sakit. Jadi seorang guru memerintahkan untuk berolahraga sendiri.

Banyak teriakan kekecewaan yang Krist dengar. Krist pun juga. Lebih baik ia tidur di dalam kelas!

“Dengarkan aku! Kita tidak bisa keluar dari gedung ini. Seorang guru akan mengawasi kita. Dan yang tidak sengaja ku dengar dari dalam ruang guru tadi, ketua komite disiplin akan kesini.”

Semua mata saling berpandangan. Semula beberapa siswa yang sudah merencanakan aksi malas-malasnya pun mengurungkan niatnya. Jantung Krist berdetak cepat. Ketua komite disiplin, berarti itu Singto?

“Tenang. Ketua tidak akan menghukum kalian! Ia hanya mengawasi proses olahraga karena disuruh oleh kepala sekolah. Akhir-akhir ini banyak terjadi pertengkaran siswa disini.” Candy yang merupakan anggota komite disiplin menjelaskan kepada teman-teman sekelasnya.

Beberapa siswa bernafas legah. Chimon berkata kecewa karena tidak membawa kamera digitalnya. Chimon yakin jika Singto pasti akan membawa anak buahnya, bukan? Ini kesempatan Chimon untuk melihat ketampanan para anggota komite disiplin. Boom ikut bergabung dalam gerombolan siswa yang sedang membahas permainan bola apa yang akan mereka lakukan.

Sedangkan, Krist masih tetap berdiri mematung. Meski Candy sudah memberitahu jika Singto hanya akan mengawasi mereka tanpa berbuat apapun dan menghukum siswa. Tetap saja jantung Krist tidak berhenti berdetak cepat. Ada apa sebenarnya? Bayangan mimpi kembali berputar dikepalanya. Membuat Krist semakin tidak bisa bergerak di tempatnya.

“Krist..”

Krist menoleh kesamping, melihat Chimon yang memberi kode dengan dagunya. Krist dengan cepat melihat kedepan. Krist merasa ia berhenti bernafas untuk beberapa saat. Ia berdiri mematung. Krist dapat melihat Singto datang dengan Pluem. Singto berjalan di pojok lapangan, ia memilih duduk di bangku panjang dengan menyilangkan kaki dan tangannya yang bersedekap.

Untuk sesaat Chimon pun juga sama seperti Krist. Mereka saling terdiam melihat dua pria yang baru saja datang tersebut.

Mata tajam Singto bertemu pandang dengan Krist. Mereka saling bertatapan lama. Krist terbawa kedalam mata gelap dan tajam milik Singto.

Singto teringat dengan mimpinya, ia pun tanpa sengaja langsung mengalihkan tatapannya dengan cepat. Dada Singto bergemuruh hebat. Ada apa dengannya? Ini bukan dirinya sama sekali. Krist tertegun untuk sesaat. Singto mengalihkan tatapannya, kenapa? Suara Boom menyadarkannya. Ia datang untuk mengajak Krist dan Chimon untuk ikut bermain bola basket.

Satu kelas terbagi menjadi dua team, laki-laki bermain bola basket, sedangkan untuk perempuan bermain bola voli. Mungkin ini saatnya, Krist melupakan mimpinya sejenak. Ia bermain dengan gesit. Mendribble bola dengan cepat, melewati beberapa pemain lawan. Boom melihatnya dengan mengerutkan dahi. Tumben sekali temannya tersebut.

Singto melebarkan matanya. Astaga! Singto baru menyadari. Kenapa Krist sangat seksi sekali! Kaos olahraga berwarna hitam sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Kaos lengan pendek. Celana pendek diatas lutut. Bahkan itu panjangnya hanya setengah paha. Kaki jenjang mulusnya terpampang begitu saja. Apalagi jika Krist meloncat untuk memasukkan bola ke dalam ring, celananya ikut begerak memperlihatkan pahanya.

Rasanya Singto ingin menutup mata teman-teman Krist. Tanpa sadar, Singto mengepalkan tangannya. Hanya Krist yang dapat membuat Singto seperti ini. Singto sudah sering melihat siswa berpakaian olahraga, tapi jika itu Krist, kenapa rasanya menjadi berbeda?

“Sepertinya tidak akan ada pertengkaran di kelas ini.” Pluem membuka percakapannya. Singto hanya bergumam pelan. “Aku heran, kenapa banyak terjadi pertengkaran pada saat olahraga berlangsung. Itu membuat kepala sekolah menyuruh kita mengawasi setiap kelas dan membuat laporan. Itu membosankan!” keluh Pluem. Singto menoleh kesamping. Melihat Pluem dengan tajam. “Ya ya ya!” jawab Pluem. Seakan tatapan Singto mengatakan, jangan-mengeluh.

Kaki Krist tidak sengaja tergelincir pada saat mendribble bola. Tubuhnya terhuyung, tidak seimbang. Dengan cepat Boom yang pada saat itu berada dibelakang Krist dengan sigap menangkap tubuhnya.

Singto yang melihat Krist jatuh terhuyung langsung berdiri akan menghampiri Krist, tapi tangannya ditahan oleh Pluem. “Phi, kau mau kemana?” Singto diam. Ia kembali melihat ke tengah lapangan. Krist ditolong oleh pria tinggi, temannya. Singto kembali duduk dengan tenang. Meski ada rasa tidak suka tubuh Krist direngkuh oleh orang lain.

Krist dibantu Boom dan Chimon duduk dipinggir lapangan. Chimon melepaskan sepatu Krist. Boom disampingnya mengurut kaki Krist. “Akh! Pelan-pelan Boom!”

Candy mengambil bola voli yang terlempar dimana-mana, hingga ia menoleh ketika mendengar teriakan kesakitan Krist. Dari melihat Krist yang mengernyit kesakitan, ia beralih melihat Singto yang matanya tidak pernah lepas dari Krist. Candy berlari ke sudut lapangan. Mengambil botol minuman kemudian ia melambai ke Singto dan Pluem. Seperti rencana Candy, Singto melihatnya. Ia berjalan menghampiri Krist.

“Untukmu..” Candy mengulurkan botol minuman yang ia bawa dengan tersenyum.

Krist mendongak. “Terima kasih.”

Candy berbalik melihat Singto dan memberi jempol. Sebagai isyarat bahwa Krist tidak apa-apa.

Boom kembali bermain bola basket. Krist duduk ditemani oleh Chimon. “Krist, tumben sekali Singto tidak memanggilmu!”

“Memanggilku? Untuk apa?”

“Biasanya dia akan menyuruhmu ini dan itu! Lihatlah, meskipun dia tidak memanggilmu, tapi matanya tidak pernah lepas darimu! Hah..” ucap Chimon panjang kali lebar dengan diakhiri hembusan nafas.

Krist bahkan lupa jika Singto ada di ruang olahraga! Krist melihat Singto dari kejauhan. Benar saja, mata keduanya saling memandang. Krist ingin sekali melihat ekspresi dan emosi yang muncul dari wajah Singto. Krist tidak menemukannya, juga tidak mengerti tatapan dari mata gelapnya.

Tidak lama kemudian, Krist kembali menoleh dan Singto sudah tidak ada disana.



[SINGTOxKRIST/PERAYA] My Evil SeniorWhere stories live. Discover now