11. They dont Know About Us

3.5K 407 64
                                    

New berjalan memasuki ruang anggota komite disiplin. Mengedarkan pandangannya mencari seseorang. Kemudian ia berhenti di tengah ruangan sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Apa kalian melihat Singto?” New memandang teman-temannya penuh harap. Tetapi hanya ditanggapi gelengan kepala oleh Pluem dan Janhae.

“Ada apa kau mencarinya?” Tay bertanya balik. “Duduklah..” lanjutnya. Tay dapat melihat wajah gelisah New.

New duduk disamping Tay, ia berkata jika hari ini Singto tidak masuk kelas. Sudah beberapa kali mencoba membuka pintu ruangan Singto tapi tidak bisa. Pintu dalam keadaan terkunci. Tidak seperti biasanya. Ia juga mencoba menghubungi Singto tapi tidak satu panggilan pun diterima oleh Singto.

“Aku khawatir... kemana anak itu pergi?” New mengusap wajahnya kasar. Sejak tadi terus menggengam kedua tangannya. Takut sesuatu terjadi. New tahu, Singto tidak pernah seperti ini sebelumnya. Paling tidak, Singto pasti akan menghubunginya terlebih dahulu.

“Kenapa tidak coba kau hubungi ke rumahnya Phi?” Pluem mencoba memberi saran. New menggeleng. Andai saja ia bisa tahu nomor telepon rumahnya.

“Kalau begitu, ayo kita pergi ke rumahnya saja!” Tay berdiri. Menarik tangan New. Ia tidak tahan melihat New yang mengkhawatirkan Singto. New sama sekali tidak bergerak dari duduknya. Tay mengerutkan dahinya. Memandang New yang kini duduk bersandar di sofa, memandang kosong langit-langit.

“Andai saja aku tahu rumahnya!”

Janhae hampir menjatuhkan cat kukunya. Pluem tersedak susu kotaknya. Tay hanya berdiri mematung. Bagaimana bisa?

“Bodoh! Bukankah kalian dekat?”

Mata besar New beralih melihat Tay yang juga menatapnya. Mereka saling bertatapan.

***

Krist merasakan angin yang menerpa wajahnya. Menenangkan. Seorang guru yang berdiri di depan papan sama sekali tidak ia perhatikan. Krist lebih memilih melihat keluar jendela. Memperhatikan burung yang sedang membuat sarang diatas pohon.

Pikiran Krist memutar, mengingat bahwa kemarin Singto benar-benar mengajaknya pergi menemui Daddy dan Mommy.

Singto hanya diam, tidak bersuara. Krist tidak bisa untuk tidak menangis. Ia tidak setegar itu. Krist meletakkan bunga kesayangan kedua orang tua tersebut. Kemudian menyapa mereka.

“Apa kabar Daddy Mommy? Bagaimana kabar kalian disana? Krist baik-baik saja disini. Krist.... merindukan Daddy dan Mommy..” Krist sempat menjeda ucapannya. Ia bingung harus berkata apa. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, mencegah suara isakannya keluar.

Krist menengadah, melihat Singto yang berdiri disampingnya dengan pandangan buram oleh air mata. Ia menyentuh tangan Singto. Menyuruh Singto untuk menyapa orang tuanya. Krist berdiri tapi sebelah tangannya ditahan oleh Singto.

“Daddy, Mommy.. apa kabar? Singto disini baik-baik saja. Lihatlah, Singto dan Krist datang bersama menemui kalian. Apakah kalian senang? Maaf, kami baru datang sekarang..” Krist memperhatikan Singto sembari sesekali mengusap pipi bulatnya yang dibasahi oleh air mata.

“Maafkan Singto yang selalu mengecewakan Daddy dan Mommy. Maafkan Singto yang belum sempat membuat kalian bangga melihat Singto. Tapi, Singto berjanji akan membuat kalian bangga. Pastikan melihatnya dari atas sana..”

“Maafkan Singto yang tidak pernah menemani kalian. Maafkan Singto yang lebih memilih sibuk dengan kegiatan sekolah dan bermain daripada berada di rumah bersama kalian..” mata Singto memerah dan berair. Mengingat dimana masa-masa ia bisa bertatapan mata dengan kedua orang tuanya. Saling berbicara, bercerita, bersentuhan dan memeluk. Singto merindukan usapan tangan sang ibu dipucuk kepalanya. Merindukan segalanya. Segala kasih sayang yang diberikan orang tuanya.

[SINGTOxKRIST/PERAYA] My Evil SeniorWhere stories live. Discover now