Terlambat

1.2K 50 5
                                    

Pagi semakin terik, matahari sudah mulai mengeluarkan derajat panasnya, berbaur dengan polusi yang mengepul di udara. Jingga melangkahkan kakinya sedikit terburu-buru. Karena semalaman menjaga Eyang yang sedang sakit, kantong matanya menebal kurang tidur.

"Maaf, nona. Sudah penuh," kata kernet angkutan umum.

"Yah, pak. Nambah satu saja."

"Maaf."

Langkahnya putus asa. Lima belas menit lagi dosen yang tak kenal ampun itu akan memasuki kelas. Jingga memutuskan jalan kaki, bukan jarang ia harus berkawan dengan baju yang pengap karena keringat.

Tidak seperti orang kebanyakan, Jingga enggan mengenakan masker untuk mengurangi karbondioksida yang terhirup. Dia lebih suka menutup hidungnya menggunakan buku-yang selalu digenggam. Suasana daerah istimewa mulai berubah searah dengan zaman. Tapi bukan berarti itu kabar buruk. Jingga yang lahir di kota yang terkenal 'luwes' ini merasa bahwa Yogyakarta tak pernah menghakiminya.

Setengah perjalanan, mendadakk betisnya pegal karena jarak rumah ke kampus memang terukur cukup jauh.

"Mau bareng?"

Seorang laki-laki asing menghampirinya, ia menaiki motor vespa yang masih bagus. Dengan menggendong tas berisi gitar di punggungnya.

"Enggak."

"Kita teman sekampus, jangan khawatir ku culik."

Jingga menghiraukan lelaki itu, lalu kembali berjalan.

"Masih takut diculik?"

Jingga masih bungkam.

"Kamu cuma punya waktu lima menit."

"Kenal aja enggak," gerutu Jingga.

"Oh iya, aku Pranata. Namamu?"

"Oke, Prana. Kamu enggak wajib tahu siapa aku, apalagi minta aku duduk di motormu."

Laki-laki yang kerap dipanggil Prana oleh seisi bumi itu masih mengekor di belakang Jingga. Menunggu gadis itu berubah pikiran dan ikut dengannya.

"Ya, sudah. Duluan."

Akhirnya orang gila itu pergi juga, batin Jingga.

Seberes Prana pergi, Jingga baru menemukan angkutan umum yang bisa mengantarnya ke kampus. Jarum jam tangannya sudah melewati waktu masuk kelas, Jingga memutuskan pergi ke perpustakaan kampus.

"Kebiasaan, malas masuk kelas," sambar Aksa, satu-satunya teman yang Jingga punya, itupun karena mereka teman satu SMA.

"Terpaksa karena telat."

Aksa sibuk memilih buku di jajaran rak, Jingga hanya bisa menahan tawa. Ia tahu teman laki-lakinya itu tidak suka membaca buku. Tapi hanya ingin terlihat supaya tidak diusir pegawai perpustakaan.

"Sa, tadi ada orang gila yang nawarin berangkat bareng."

"Orang gila?"

"Di kampus ini, ada enggak orang namanya Pranata?"

"Setahuku, enggak ada."

"Berarti dia bohong."

"Harusnya tadi kamu mau aja, biar bisa masuk kelas."

Aksa memerhatikan wajah Jingga yang masih penasaran. Dia terpaksa berbohong. Aksa tahu siapa Prana. Laki-laki itu memang berusaha untuk mendekati Jingga.

***

"Aku pulang, ya?"

"Temenin aku ke suatu tempat."

BelantaraWhere stories live. Discover now