Sisi Lain Jogja

237 21 0
                                    

Menginjak bagian ke tujuh, maaf bila waktu publish hanya sekali dalam seminggu. Bulan ini diusahakan rutin update ceritanya dan semoga puasa kalian lancar ya :) selamat membaca. Salam, Bahasa!

***

Beberapa detik berlalu. Telapak tangannya licin dialiri keringat dingin. Lusa? Mengapa lusa? Mengapa tidak dari dulu saja? Jingga menutup ponselnya. Banyak pertanyaan yang hinggap di kepala. Banyak sekali yang ingin dia bicarakan bersama Bagas. Tetapi justru tersendat dan berakhir ragu. Mungkin sudah saatnya berhenti bersikap membelakangi kenyataan. Mungkin saatnya terbuka dan menyelesaikan lewat dialog. Mungkin bumi ingin memberi jalan agar kepastian itu tak hanya menggumpal di pikiran.

Jingga beranjak dari kursi, membayar kopi yang masih tersisa setengah cangkir di meja. Karena enggan memesan ojek online, ia memilih pulang jalan kaki. Jingga juga kurang suka naik taksi—terlebih jika sendirian.

Sambil ditemani lagu dari musikus lawas, langkahnya berbelok menuju rumah teman lama. Terkenal juga menyukai sastra, Jingga memberanikan diri berkenalan dengan Arumika—teman satu SMA. Gadis blasteran Cina yang pandai mengarang puisi—kemudian menempelkannya di mading sekolah dulu, membuat Arum banyak mendapat apresiasi dari sekelilingnya. Bertolak belakang dari Jingga yang tak pernah memperlihatkan keahliannya di bidang sastra.

"Jingga! Kemana aja?!" Arum sontak memeluk Jingga.

"Kuliah, Rum. Seminggu lalu Eyang meninggal, jadi cuti dulu."

Raut wajahnya berubah lesu, "turut berbela sungkawa, ya."

Jingga tersenyum. Setelah dipersilahkan masuk sang tuan rumah, dimulai dari melebur rindu, Jingga mulai bercerita tentang pengirim email sewaktu di kedai.

"Lalu inginmu bagaimana?"

"Aku belum pernah merasa ragu sebesar ini."

"Tapi kamu harus menemuinya. Harus. Tiga tahun dibuat bertanya-tanya, apa mau dibuat lebih lama lagi?"

***

Waktu lagi-lagi menjadi penghalang dua anak manusia yang sedang hanyut dalam komunikasi. Jingga beranjak, terlalu larut untuk melanjutkan obrolan. Sang kakak pasti telah menyiapkan makan malam sejak tadi. Seberes pamit, ia kembali memasang earphone disusul dengan mengeluarkan buku dari dalam tas jinjing. Tangannya membelah halaman yang telah diberi pembatas. Entah membaca buku ketika jalan kaki adalah kebiasaan baik atau buruk. Dia hanya ingin tenggelam dalam dunia literasi. Buku bacaan kali ini tentang bagaimana menjadi diri sendiri sekalipun dihantam ombak besar kehidupan.

Ya, untuk apa takut menjadi miskin. Bila berduit tapi menjadi buruh semesta. Hidup adalah perjalanan singkat yang semestinya menjadi zona terbatas seseorang berkarya, saling menemukan, lalu saling melepas. Tapi, tunggu. Definisi melepaskan lebih baik jika tengah berhasil memberikan buah tangan untuk manusia lain. Entah kebaikan atau karya.

Jingga menyeringai, tulisan yang tertera sedikit menyentil hati kecilnya. Ia mulai berpikir, untuk apa menjalani hal-hal yang kurang sejalur dari minatnya? Bila hidup sebatas pintu masuk, bukankah menyenangkan bisa menjalani apa-apa yang menjadi mimpi sejak dini. Lalu hal baik apa yang telah ia berikan untuk semesta? Jingga menutup bukunya, kemudian mempercepat langkah pulang. Dia berjanji untuk menemui Bagas dengan risiko terburuk sekalipun. Tidak. Kemungkinan rasa sakit itu tidak akan terulang. Dia percaya laki-laki tersebut memahami bagaimana perasaannya. Terlalu banyak "semoga" dalam benaknya. Jingga masih percaya cerita yang ia tulis belum selesai. Ia kembali membulatkan pikiran bahwa penantian panjang bukan hal yang perlu diragukan.

***

Pepohonan riuh dan berdesir digoyah angin. Prana terduduk di salah satu batu besar di hulu sungai. Aliran air pagi ini terbilang cukup tenang. Dia belum pernah merasa kosong seperti sekarang. Secara langsung rasa kehilangan menguat dalam keseharian. Anak-anak di sekolah Ngelmu Pring masih terkendali bersama Aksa, sayangnya beberapa dari mereka sangat merindukan kehadiran Jingga. Konsentrasi saat belajar menjadi berkurang. Mungkin bukan hanya itu, Prana juga harus menahan kegusaran hati yang setiap hari bertanya-tanya bagaimana keadaan gadis itu.

BelantaraWhere stories live. Discover now