Hanyut

266 17 2
                                    

Bila habis jalan pulang dan perekat di antara kita, aku titip bahagia di bola matamu. Salam, perempuan tengil yang selalu gagal memahami dan dipahami.

***

Tidak ada hampa melebihi diri yang harus mulai terbiasa menerima apa-apa yang keluar alur. Sama halnya dengan rencana Jingga yang pelan-pelan ia susun, yang barangkali bumi sependapat, ternyata dia salah. Jogja jadi tempat terakhir mengelabuhi hal-hal yang gagal dimiliki. Pulang, Jingga, pulang!

Prana membuka setengah kelopak matanya ketika panggilan subuh dikumandangkan. Tubuhnya setengah terjingkat saat menyadari dua lembar kertas berantakan di atas meja, lengkap dengan amplop yang sobek sedikit di ujungnya.

"Siapa yang baca isinya?" gumamnya lirih. "Jingga, kemana Jingga?!?" tubuhnya bergerak cepat menelusuri pintu ke pintu. Kamar gadis itu kosong melompong. Semua barang dan koper lenyap dibawa pergi, ditambah juga tanda tanya besar yang disisakan untuk Prana.

"Ajeng tahu kemana Jingga?"

"Semalam dia pulang ke Jogja. Dini hari, cuma bilang kalau dia enggak apa-apa. Enggak tahu kenapa wajahnya merah juga penuh air mata," jelasnya runtut tanpa jeda. "Kalian berantem?"

Prana menggeleng, tidak pernah ada pertengkaran serius di antara keduanya. Lalu pikirannya tersambung dan mencerna sedikit demi sedikit.

"Apa kamu sempat masuk kamar saya?"

"Ajeng enggak berani, Kang. Jangankan masuk, mau ketuk pintu saja kadang pikir dua kali."

"Jangan-jangan—"

Sontak tangannya meraih koper bermuatan sedang, menentengnya sampai ke teras. Seberes mengaturkan terima kasih dan titip salam untuk Abah, langkahnya menyusuri alas hijau yang membentang seluas puluhan hektar. Tubuhnya habis diterpa angin dingin tatkala fajar masih belum menampakkan awak mentari di kaki langit. Udara sepagi ini saja berhasil membuatnya menggigil, bagaimana Jingga bisa melewatinya seorang diri dini hari tadi? Sungguh pikirannya berhamburan tak karuan dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang menggantung.

Seberes keretanya berhenti di Stasiun Tugu, tanpa banyak berpikir tangannya menepuk pundak abang-abang yang semalaman nganggur di pangkalan ojek. Mesin motorpun melaju.

"Kenapa aku tolol sekali?! Kenapa harus Jingga yang baca isi surat ngelantur itu?!" gumamnya di atas kursi motor. "Padahal sudah janji enggak akan mengecewakan, tapi enggak bisa pegang janji sendiri. Bodoh sekali, Pranata!"

Mesin motor abang ojek sengaja diberhentikan dari gang depan, sedikit jauh dari pagar rumah Jingga. Jangan tanya kenapa bisa seberbahaya itu kalau suaranya sampai terdengar. Jingga benci dikunjungi ketika marah. Prana juga paham kenapa gadis paling menyebalkan di belahan bumi itu sangat sensitif, semua bermula dari dikecewakan oleh cinta pertamanya. Ya, ayah kandungnya sendiri.

Tiba tepat di depan pagar besi yang banyak ditumbuhi karat, ternyata kunci gemboknya sudah terbuka. Seketika langkah demi langkah Prana menghampiri dan ingin segera membicarakan semuanya.

Mbak Tika keluar sambil membawa segelas susu hangat.

"Mbak, saya perlu bertemu Jingga."

"Aku enggak tahu kenapa dengan kalian, tapi sepertinya dia lagi susah diajak bicara."

"Kapan Jingga tiba di Jogja?"

"Siang tadi," balas Mbak Tika. "Mbak tahu kamu laki-laki yang baik, maksudku enggak mungkin sebrengsek Bagas. Tapi Jingga juga bukan orang yang mudah sakit hati kalau masalahnya bukan benar-benar menyakitkan."

Prana terbungkam, memang benar adanya awal mula dari kerumitan ini adalah kesalahpahaman. Tapi kenapa sedikit saja dirinya tidak diberi celah untuk berbicara demi menuntaskan? Padahal dialog mampu mempersingkat yang runyam, meluluhkan yang lantak. Belum habis memikirkan bagaimana nasib gadis yang teramat berharga dalam hidupnya itu menangis di dalam sana, Pranata kian memikirkan kesehatan sang ibu yang jauh dari jangkauan. Tidak ada sinyal internet yang memudahkan, tidak ada perantara yang setidaknya bisa memberi kabar lebih dari tulisan surat.

BelantaraWhere stories live. Discover now