Rumah Singgah

265 32 1
                                    

Puas sekali rasanya bisa memanusiakan manusia. Jingga merebahkan tubuhnya di kasur kapuk yang keras. Keringatnya menjadi bukti bahwa hari ini sangat melelahkan. Tumbuh kepuasan luar biasa dalam benaknya, seolah dirinya yang dulu dan hari ini jauh berbeda. Jadi ini yang namanya keluar dari sarang? Dengan mencari hal baru di dunia luar, menemukan kawan baru, dan berbuat banyak untuk penduduk bumi. Kalau saja Jingga mau, mungkin dia masih rebahan di sofa nyamannya, menyeruput kopi sore lalu segera mengotak-atik gadget. Tapi Jingga sudah enggan melakukan hal-hal menjemukan seperti itu.

Tangannya mengeluarkan kotak dialog, tanpa pernah menghitung sudah berapa puluh puisi di dalamnya. Pandangannya beralih pada foto berukuran 4R, tergambar jelas laki-laki mengenakan seragam SMA memenuhi kertas foto. Jingga meraba wajah Bagas yang sebatas dua dimensi, menelaah kembali ucapan sahabatnya, "bersamanya tak mengobati apapun".

Para penduduk desa segera menyalakan lampu minyak, senja terasa lebih cepat dari biasanya. Terdengar suara pintu diketuk dari luar, Jingga bergegas bangkit dan membuka.

"Ma sudah selesai masak makan malam, kamu sudah lapar?"

"Kamu duluan aja, nanti aku nyusul."

Mata Prana menangkap foto di tangan Jingga, tampak tertekuk di bagian pinggiran. Dia hendak bertanya siapa orang dalam foto tersebut, tapi justru terkesan terlalu ikut campur. Di sisi lain, dia bisa menebak sosok yang Jingga tunggu selama ini.

Tubuhnya berbalik arah. Usai melangkah keluar, hatinya seperti terbakar hangus. Prana berusaha meredam diri bahwa ini bukanlah kecemburuan.

***

Hari ke sepuluh, di Aceh Barat.

Jingga dan Aksa kembali mengajar sekolah Ngelmu Pring. Sekolah tanpa atap dan bangunan, cara mengajarpun jauh berbeda dari kurikulum sungguhan. Tidak ada biaya angsuran perbulan, beberapa keluarga yang bekerja sebagai buruh tani kadang membayar dengan beras. Tapi Jingga tak pernah menerima bayaran dalam bentuk apapun, sekarung beras ia berikan kepada bu Lilis, keluarga Prana lebih membutuhkan.

Selama Jingga bisa makan dan tidur dengan nyaman, dia punya alasan bertahan di Aceh. Terutama jika melihat Tiur—anak didiknya yang pandai sekali bercerita. Tiur satu-satunya murid yang gigih menulis rasa protesnya pada negara.

"Tiur ingin bawa bapak ke Jakarta, mengobatinya di sana. Penyakit komplikasinya semakin parah. Lalu datang langsung menemui pimpinan, supaya protesku di dengar."

"Kalau tetap tidak didengar?" tanya Jingga menguji sejauh apa pemikirannya.

Tiur diam sejenak, berpikir dan berpikir.

"Berarti bapak enggak bisa sembuh, berarti pancasila di negara ini harus dipertanyakan lagi."

Jingga menyeringai tak mampu membalas pernyataan barusan. Tiur memang cerdas, bahkan jangka berpikirnya terlampau lebih tinggi dari umurnya. Jingga menjadi ragu dengan dirinya sendiri. Dia tertawa jengah. Pemerintah kurang memperhatikan generasi implementer yang letak geografisnya terpelosok. Tampak orang-orang dalam kota besar lebih diperhatikan, mengukur tingginya derajat atau apalah itu. Pemimpin kurang teliti membedakan antara rasa cinta tanah air dan cinta jabatan masing-masing. Tanpa sadar mereka mengundang mala untuk bangsa sendiri.

"Terhitung lebih dari seminggu, sudah ingin pulang?" celetuk Prana dari belakang.

Jingga membalik tubuhnya, "kalau harapanku ada di sini, ngapain pulang?"

Ponselnya bergetar, Jingga merogoh saku almamaternya, sebuah pesan masuk. Perasaan kecewa menggerogoti, ia mengira pesan tesebut dari Jerman.

Ternyata teman sefakultas. Gumamnya.

BelantaraWhere stories live. Discover now