Letupan Api Dalam Hati

160 13 0
                                    

Lalu kehangatan itu lancang datang menerpa hati, tiap-tiap kali namamu minta diizinkan melintas. Sayangnya keberadaan kita ibarat surat sah bermaterai, siapa yang lebih dulu ingin memiliki akan dikenakan sanksi. Ah, omong kosong kalau aku tidak menyayangimu.

***

Pagi menilik dari sudut jendela kamar. Jemari Bi Imah menyingkap tirai. Kedua kelopak mata Jingga terganggu oleh sinar matahari yang lancang masuk.

"Ayo bangun, Neng."

Tubuhnya masih enggan beranjak dari tempat tidur, seraya tangannya mengincar ponsel di bawah bantal. Jingga terjingkat, matanya membulat tajam ketika menyadari pagi hampir berganti siang. Pukul sepuluh tepat jadwal panggung akan berlangsung. Dengan sigap tangannya menyambar handuk yang tengah disiapkan. Beruntungnya ia adalah gadis yang terbiasa tampil apa adanya di mata publik. Biarpun tanpa polesan, wajahnya tetap di atas rata-rata.

Ketika kakinya menjejaki teras rumah, Pranata dan Mang Asep sedang melebur obrolan ditemani cangkir kopi mereka.

"Tuan putri baru bangun."

"Rese banget sih!" Jingga mengernyit, walaupun ia juga menyembunyikan rasa bersalah karena kesiangan.

"Ya sudah, Mang. Saya dan Jingga mohon pamit," Pranata meraih tangan Mang Asep.

Belum beberapa langkah meninggalkan pelataran, seorang gadis mendekati mereka. Lebih tepatnya mendekati Pranata. Sambil menenteng sebuah rantang makanan bertumpuk, Ajeng menyibak rambut panjangnya yang tertiup angin.

"Ini masakan Ajeng yang bikin?" tanya Prana.

Ajeng mengangguk pelan. "Dimakan, ya, Kang."

"Terima kasih sudah repot-repot masak buat saya."

"Ajeng doakan konsernya berjalan sukses."

Pranata mohon diri sembari menggenggam rantang berisi makanan di tangan kirinya. Sebab belum mampu membeli kendaraan pribadi, mereka harus menyewa mobil khusus untuk transportasi konser.

Selama perjalanan menuju acara, ia memerhatikan Jingga yang lebih pasif belakangan ini. Sekalipun ingin berbincang, gadis itu hanya membahas seputar kerjaan. Intonasi ceria dan menyebalkan seperti biasanya mulai jarang terdengar. Mungkin dia sedang sakit atau kelelahan karena berusaha handle semua jadwal sendirian.

Semakin hari perubahan suasana itu mengacau pikiran, belum lagi harus mengganggu konsentrasi Prana ketika tampil di atas panggung. Ia bertekad untuk berbicara lebih intensif.

"Jingga..."

"Hmmm?"

Prana meletakkan tangannya pada punggung tangan gadis di sampingnya. "Kalau mulai jenuh jadi partner kerjaku, kita bisa ambil cuti beberapa waktu ke depan."

***

Sepasang matanya menangkap kuat. "Bukan begitu, Pra. Aku sama sekali enggak jenuh. Lagi pula ini mimpimu sejak lama. Jangan dibuat rumit cuma karena kondisiku. Kamu butuh uang untuk Bu Lilis di sana, kita sudah sampai sejauh ini."

Prana berani mengembuskan napas lega, tapi perasaan mengganjal masih terhimpit di raut wajah Jingga. Ia yakin ada yang di sembunyikan dari gadis itu. Ada kecemasan luar biasa setiap tergambar resah di gerak-gerik Jingga. Wajar, hampir seluruh hidupnya kini hanya untuk membahagiakan Jingga dan ibunya. Dua perempuan luar biasa tersebut mengalahkan rasa sayangnya pada diri sendiri. Bahkan untuk berfoya-foya dan membelanjakan uang hasil keringatnya saja, Prana harus benar-benar menahan. Tidak ada waktu selain mengedepankan usaha untuk merealisasikan niat akhirnya. Melamar Jingga, hidup berdampingan dengan gadis yang sudah dianggap semestanya itu. Mengumpulkan materi dan kesiapan-kesiapan lainnya.

BelantaraWhere stories live. Discover now