Jatuh dan Berantakan

213 16 3
                                    

Dan kita menyelesaikan hal yang hampir diutuhkan

***

Matahari menyingsing terik tepat di atas ubun-ubun, teramat panas dan membuat emosional penduduk bumi jadi tidak stabil. Jingga merasakan ponselnya bergetar, satu pesan masuk dan menunggu dibaca.

Aku ada sedikit masalah, bisa tunggu di kedai langgananmu sampai aku jemput?

Iya, enggak masalah. Balasnya diiringi langkah menuju Kedai Mataram.

Kebetulan seharian tenggorokan sedang meraung belum terguyur cappuccino racikan barista terbaik di Jogja. Jingga terkagum dengan aroma kopi buatan barista muda dengan topi bundarnya yang rutin dikenakan setiap bekerja.

"Seperti biasa, mbak?" seorang pelayan menghampiri.

"Kali ini tanpa gula, ya."

"Habis dikasih yang manis-manis, ya?"

Jingga terbahak, "tau aja sih mas."

"Tapi kopi pahit lebih nikmat kalau diminum sambil berpikir yang baik-baik."

"Kalau ternyata hati saya enggak lagi baik-baik aja?"

"Berarti salah pesan. Hehehe."

Pelayan itu berbalik ke arah barista, mengulurkan kertas pesanan yang selalu itu-itu saja. Jingga mengeluarkan laptopnya, terlalu banyak mengambil cuti ternyata cukup berisiko. Tugas, makalah, presentasi terasa memburu seperti sedang mengikuti lomba lari. Ketika sudah berduet dengan laptop, dia tak protes bila disuruh menunggu Bagas sekalipun sampai berjam-jam.

"Perempuan mana yang tahan pacarnya masih pergi berdua sama masa lalunya?!" suara perempuan di ujung kedai. Jingga masih sibuk berkutik dengan makalah yang terlalu banyak rumpang.

"Pulangmu itu untuk siapa?" gertak gadis itu lagi.

"Kita sudah bicarakan ini sebelum ke Jogja," balas laki-laki di seberangnya.

Tampak keduanya sedang beradu argumen, sang gadis bersikeras mendapat penjelasan dengan intonasi tinggi, sementara si laki-laki tampak kikuk dan lebih banyak mengalah. Berulang kali suara yang sama menyisip di indera pendengaran, Jingga menyerah, kemudian menyumpal kedua telinga dengan earphone.

Ponselnya kembali bergetar sebab panggilan masuk, Jingga menggeser lock screen, alih-alih terdengar suara ricuh di sambungan telpon.

"Halo, Bagas. Ada apa disana?"

Tidak ada suara Bagas, yang terdengar jelas hanyalah intonasi tinggi suara perempuan. Jingga melepaskan earphone, suara seorang gadis di sana seperti sedang marah dan berapi-api. Tiba-tiba sorot matanya memperhatikan sepasang kekasih di sudut kedai—yang sejak tadi ribut sendiri, sembari mendekatkan speaker ponselnya ke telinga. Keningnya mengerut, suara perempuan di sudut kedai dan di sambungan telpon ternyata sama. Ya, keduanya melantunkan ucapan dan gerak mulut yang sama.

"Sebentar, Aura. Aku harus menjemput Jingga di kampus, masalah ini kita selesaikan ketika sampai di Jerman," kini telinganya tak mungkin salah, itu suara Bagas.

"Dia terus. Jingga terus. Kita sudah tunangan, Bagas. Kau harus bisa membatasi masa lalumu."

Pertikaian yang sejak tadi mengusik konsentrasinya saat merampungkan makalah, suara orang marah-marah yang membuatnya harus memasang earphone, dan laki-laki sebagai korban kemarahan gadis berperawakan bukan seorang pribumi.

Ber—tu—nangan? Gumam Jingga sangat pelan.

***

Hantaman mana lagi yang mampu merusak senyum Jingga siang ini? Laki-laki yang berjarak beberapa langkah itu sedang ribut dengan gadis asing. Tangannya segera menutup laptop, niatnya menuntaskan tugas kuliah menjadi hilang selera.

BelantaraWhere stories live. Discover now