Peluk Kita Bertemu

159 15 2
                                    

Mau sekuat apapun daya ikat hidup dan rutinitasnya yang membuat kewalahan, ada kalanya seseorang ingin menemukan cahayanya sendiri untuk dibawa pulang. Dan Prana hampir menemui cahaya itu di langit temaram Daerah Istimewa, yang juga sedang bersolek terang penuh bintang. Berbenah untuk perantauan singkat bukan sesuatu yang terlalu penting dan bisa dilakukan dalam hitungan jam. Seberes mencium tangan Bu Lilis—pengiring doa di setiap bait—Prana ditemani Aksa menempuh perjalanan lima jam empat puluh menit dari Banda Aceh. Terbilang jarak yang cukup membentang, pun dengan harga tiket pesawat yang melonjak karena penumpang semakin padat. Kesekian kalinya Prana harus merepotkan Aksa, meminjam uang untuk sekali penerbangan.

"Penerbangan pulang biar aku cari sendiri biayanya. Maaf lagi-lagi merepotkan," ujar Prana.

"Anggap saja ucapan terima kasih tumpangan tidur dan makan selama enam bulan."

Mereka dilebur tawa ringan. Yogyakarta seakan berpihak kepada dua manusia yang mulai direnggut lelah. Tidak ada matahari menyingsing sampai teriknya menyengat ubun-ubun. Langit diselimuti awan abu-abu pekat, beberapa saat kemudian angin bertiup mengibas rambut. Kaki kedua laki-laki itu menapak sebuah tempat kopi terlezat di Yogyakarta. Tampak jelas di bagian dinding depannya tertulis "Kedai Mataram".

"Selamat siang, mau pesan apa?" seorang pelayan memberikan buku menu.

"Saya kopi karamel saja, Mas."

Prana memandang satu-persatu tulisan dalam menu. Matanya melanglang buana karena terlalu banyak nama kopi yang masih asing untuknya. Ia memang mencintai minuman berkafein, terutama khas racikan ibunya sendiri. Tapi bila tidak mengerti wujud dan rasa, apa rasa kopinya bisa sesuai keinginan? Orang kota memang suka melebih-lebihkan nama produk sebagai pengikat.

"Pra, jadi yang mana?" tegur Aksa.

"Ah, anu, yang ini saja!" jarinya menunjuk salah satu gambar, pastinya karena terlihat paling mirip dengan buatan ibunya.

Sang pelayan segera mencatat pesanan, "saya kenal gadis yang sudah lama minum kopi di sini, kopi kesukaannya juga cappucino."

Prana hanya manggut-manggut, sesekali memutar pandang, sorot matanya menelanjangi seisi kedai. Di kampung halamannya belum pernah ditemukan tempat semacam kedai, restoran, apalagi mal. Bila hendak berbelanja, mencari kebutuhan pangan dan sandang tinggal berjalan ke warung atau pasar malam. Dengan harga lunak tawaran, bukan berlabel dan sudah tertulis pada barang. Wajar bila orang kota bekerja keras untuk keberlangsungan hidupnya, biaya hidup di sini pasti jauh lebih memeras keringat.

Sedang lamat menatap sekitar, sepasang bola matanya membingkai satu objek. Dari meja tempatnya dan Aksa duduk ke arah serambi kedai. Tersekat kaca yang membuat ruangan ini menjadi kedap udara.

Tubuhnya segera bangkit tanpa memedulikan Aksa yang tengah sibuk mengutak-atik ponsel. Langkahnya bergegas keluar dari ruang yang penuh mesin pendingin menuju serambi.

"Aku tahu kita pasti ketemu lagi," ucapnya sembari berdiri tegap di depan seorang gadis.

Sang gadis spontan mengumpulkan pengelihatannya, membenahi ingatan di kepalanya. Menyadari bahwa laki-laki di hadapannya adalah Pranata.

"Prana..."

Tanpa banyak cakap, pelukan mereka saling menjangkau. Jingga meragu pada dirinya sendiri, air matanya terlalu sulit ditahan. Ia merindukan laki-laki menyebalkan itu. Sungguh. Tak punya daya lain untuk mengaku kalah dengan semua rasa gengsinya.

Prana melepas pelukannya, beberapa pasang mata menyergap mereka berdua, seolah sedang menonton teater romansa di tempat umum. Kedua gundukan pipi Jingga menjadi merah matang.

"Sama siapa?"

"Aksa. Dia di dalam sana," Prana mengarahkan telunjuknya.

"Maaf, aku menghilang dari kamu. Bahkan aku juga kehilangan diri sendiri belakangan ini."

BelantaraWhere stories live. Discover now