Tinggal dan Meninggalkan

181 11 0
                                    

Saat nanar pandang kita sadar, jalan yang berlubang perlahan dibetulkan seseorang. Tapi untuk menggenggam tangan saja terlalu jauh. Dan dia, hanya malam yang tak pernah jadi pagi.

Lalu hati mana lagi yang kau beri ucapan "kamulah satu-satunya"?

***

Menjelang larut malam, ketika jangkrik-jangkrik sawah melantunkan nada sendu dan dilebur suasana desa yang khas. Suara ketukan pintu kamar terdengar cukup mengggebu. Jingga menelisik, menunggu ketukannya berulang untuk memastikan suaranya datang dari pintu kamarnya.

"Jingga! Buka pintu, Jingga!" seru suara Prana dari luar.

Jingga bergegas membuka knock pintu, menyadari tubuh laki-laki itu sudah berdiri di ambang. Wajahnya berkeringat, terlihat panik tapi berusaha meredam kecemasan.

Dengan setengah ketakutan bila saja Prana hendak menyalahkan dirinya. "Ada apa, Pra? Kenapa?"

"Besok pagi-pagi sekali aku harus pergi ke Aceh."

Jingga mematung bingung menanggapi, yang jelas di pikirannya hanya ingin ikut kemanapun laki-laki itu menapak.

Menebak air wajahnya, Prana melanjutkan. "Penyakit ibuku semakin parah. Bukan cuma ibu, tapi hampir seluruh orang lanjut usia di desa Canggai mengalami penyakit yang belakangan ini wabahnya belum ditangani dokter manapun."

"Aku ikut, ya?" Jingga bertanya pelan.

"Justru itu aku kemari, syukurlah tanpa diminta sudah mau duluan."

"Kalau begitu nanti kamu pamit ke Mang Asep dan Ajeng. Dan mungkin kita enggak akan balik ke sini setelah dari Aceh."

Pranata mengangguk, kecemasan yang semula tergambar mulai surut. Ternyata obat dari segala emosi yang meluap-luap hanya ketika ia bisa melihat wajah teduh milik Jingga. Bola mata miliknya menggambarkan cakrawala sore. Mungkin masa lalu bisa menyia-nyiakan, tapi Prana justru bersyukur ia diberikan kesempatan menjaga Jingga hampir seutuhnya. Semoga suatu hari kekal seutuhnya.

Prana segera menemui sosok yang telah berbaik hati menerimanya di sini. Sebelum itu, langkahnya melewati depan kamar seseorang. Kebetulan Ajeng beres berbenah, lalu melihat Prana yang sedang memerhatikannya.

"Kang Prana lagi ngapain?"

"Anu...," Prana memegang tengkuknya. "Saya mau pamit ke Abah."

Ajeng mengerutkan kening, hatinya seperti ditendang puluhan kaki manusia. "Pamit kemana?"

"Kampung halaman. Ibu saya sakit, Jeng."

"Dia juga ikut?"

"Dia? Jingga maksud kamu?"

"Kang, kenapa bukan Ajeng saja yang diajak?"

Waktu seperti berhenti berputar, Prana membaca nada kekecewaan di sana. Entah nalurinya keliru atau benar, tangannya seketika memegang pundak Ajeng dengan lembut.

"Karena saya dan dia adalah partner kerja. Di samping itu, pulang bukan berarti enggak kembali. Saya pasti mengunjungi kamu dan Abah setelah semuanya selesai."

Ajeng mengangguk mafhum. Tidak ada pilihan selain melepas kepergian yang tanpa bisa dipastikan sampai kapan itu. Kali ini jangka dan jarak lebih membutakan rasanya.

Prana meneruskan langkah kakinya sampai ke serambi rumah, ia melihat Mang Asep sedang memberi pakan beberapa ayam ternak. Mendengar ucapan terima kasih dan maksud kepulangan Prana yang mendadak, lelaki usia kepala empat itu menggiringnya menuju pelataran. Sembari disuruh duduk dan menunggu, Mang Asep masuk ke dalam dan kembali sambil membawa benda di tangan.

BelantaraWhere stories live. Discover now