Rembulan

370 27 0
                                    

Aksa memeriksa dahi Jingga, barangkali gadis itu sedang demam. Jingga mengelak, apa sih? pikirnya.

"Kenapa jadi berubah pikiran?"

"Yah, calon psikolog enggak bisa diam terus di rumah. Apalagi berjaga jarak dengan manusia lainnya. Kalau sudah mencintai profesi, kita memang harus menyampingkan ego."

"Curahan hati seorang Jingga, perempuan paling ketus segalaksi," Aksa terpingkal mendengar sahabatnya yang mendadak menjadi bijak.

Seberes mengurus surat penugasan, Jingga tak langsung pulang. Dia ingin menikmati nuansa sore di gedung puluhan lantai—yang biasa didatangi sepulang dari kampus. Gedung itu dulunya hotel berbintang, namun karena tragedi kebakaran dua tahun lalu, belum ada tindak lanjut untuk direnovasi ulang. Jingga sendiri idak punya tujuan khusus, dirinya hanya ingin tak ada suara bising orang-orang arogan, sebab ketika sedang sendiri dia lebih mampu mendamaikan logika dan hati. Hampir tiga tahun dirinya menjadi mahasiswa psikologi, ilmu tentang memanusiakan manusia. Tetapi belum banyak membawa perubahan pada kekosongan hidupnya

Deru langkah sepatu mengusik telinganya, Jingga menoleh ke belakang.

"Mau kopi?" Prana mengulurkan segelas kopi susu.

"Tahu dari mana aku biasa minum kopi?"

"Asal tebak saja."

Prana mengamati warna langit yang semakin merah merekah di sudut cakrawala. Indah, tapi perempuan di sampingnya jauh lebih indah.

"Mau ke Aceh karena takut kangen aku, ya?"

"Pasti Aksa yang bilang!"

"Tanpa dia bilang, aku tahu kamu pasti ikut."

"Ada ya orang Pe-De sepertimu."

"Percaya diri itu awal dari keberhasilan."

"Sayangnya aku sama sekali enggak peduli."

Tubuh Prana beralih dan pandangannya berganti ke arah Jingga.

"Nanti akan ada seseorang yang membuatmu lebih mencintainya dari pada mencintai buku."

"Sudah ada," jawab Jingga singkat.

Bola mata Prana membulat, dadanya seperti tertusuk jarum.

Ternyata, rumah sederhana itu sudah berpenghuni. Gumamnya sambil termenung.

***

Keesokan hari, Aksa sengaja booking tiket dengan tempat duduk yang telah dia atur. Prana dan Jingga duduk di kursi bersebelahan, sementara dirinya mengalah duduk belakang. Jingga tahu ini hanya otak nakal temannya, namun ia tak berkenan marah-marah di pesawat hanya karena masalah sepele. Bisa rumit urusannya.

Selama perjalanan yang terbilang cukup singkat, Jingga menghabiskan waktunya dengan membaca buku karangan Sapardi Djoko Darmono yang kerap ia bawa kemana-mana. Puisi cinta yang hanya bisa dinikmati lewat tulisan, dibaca oleh nurani, tetapi merasakannya saja belum pernah.

Kecintaannya pada dunia literasi tumbuh ketika Jingga duduk di bangku SMA. Sejak keluarganya tak bisa lagi disebut tempat pulang, kemudian berimbas saat ia diajuhi teman sebayanya. Jingga pernah merasakan pahit yang terukir jelas di benaknya. Takkan pernah bisa dilupakan.

Sebuah pengumuman pendaratan bergeming, artinya mereka sudah sampai di Kota Aceh.

"Bandaranya tidak terlalu ramai."

Prana membenarkan posisi ranselnya, "jelas, ini bukan Jakarta. Di sini, hanya beberapa orang yang punya modal lebih untuk keluar kota. Apalagi harga tiket pesawat semakin jauh dari jangkauan masyarakat."

BelantaraWhere stories live. Discover now