14. Menghadapi Maut

720 164 79
                                    

Aquila ditemukaan dalam keadaan yang naas. Ditubuhnya terdapat banyak luka gores dan lebam, di wajahnya dipenuhi memar dan goresan, di bagian telapak kakinya terdapat luka yang mirip seperti luka bakar, di pergelangan kakinya tampak membengkak, dan mulut yang mengeluarkan banyak darah.

Aquila telah mengeluarkan banyak darah, yang membuatnya harus tranfusi darah.

Aquila dirawat di rumah sakit milik keluarganya sendiri. Ditubuhnya dipasangi banyak kabel dan selang yang terhubung dengan alat alat medis, di hidungnya diberi selang oksigen.

Pandangannya menerawang kosong, bahkan Aquila tidak berbicara pada seorangpun setelah sadar.

Di pagi hari Arnold baru menemukan Aquila yang sedang terkapar dan bersimbah darah.

Arnold mengerahkan semua pengawalnya untuk mencari Aquila setelah mendengar Aquila hilang tengah malam tadi. Dan baru ditemukan di pagi hari menjelang siang. Sekitar jam sembilan pagi.

"Aquila ... gue stay disini gak lama loh ... lo gak mau ngebahabisin waktu bareng bareng sama gue?"

Aquila tidak menyahut. Matanya menatap lurus kedepan dengan pandangan kosong.

Ray yang menjadi psikiater Aquila bingung sendiri. Disaat saat seperti ini tidak ada yang membantu Ray memperbaiki kondisi Aquila. Bahkan Arnold kian memperburuk keadaan, dengan ikut mogok makan dan tidak bicara selain dengan dokter dan putrinya.

"Dulu lo bilang ... Lo kangen sama gue, lo sayang sama gue, dan lo mau gue stay disamping lo terus."

Ray terus mengajak Aquila berbicara, walaupun tidak ada satupun perkataannya yang di respon.

'Gue harus gimana lagi?! Sugesti yang gue ucapin gak ada yang direspon.' Ray berkata dalam hati. Semua metode telah dia coba untuk menyembuhkan Aquila, tapi belum ada yang berhasil.

Ray kesal dengan dirinya sendiri. Ray ingin berguna untuk gadis yang dicintainya, tapi sampai saat ini tidak ada hal yang bisa dia lakukan untuk menyembuhkan trauma Aquila.

"Om Arnold ...."

Ray menghampiri Arnold yang sedang duduk di sofa. Kondisinya sama dengan Aquila, menatap lurus kedepan dengan pandangan mata kosong.

"Om gak boleh begini ... Aquila sedang terguncang, dan om yang harus ngehibur Aquila. Om Arnold bilang mau liat Aquila bahagia ... dan sekarang saatnya om buat Aquila bahagia, hibur Aquila om."

Sepertinya Arnold merespon semua perkataan Ray. Saat ini Arnold berjalan menghampiri Aquila, memandang wajah putrinya yang linglung.

"I-ini semua gara gara papa! Pa-papa gak bisa jagain kamu! Papa emang gak berguna!" Arnold terus menyalahkan diri sendiri atas semua hal yang menimpa Aquila.

Arnold menangis sesenggukan sambil mengatakan, "Bodoh! Arnold bodoh! Gak berguna! Mati! Mati!"

Ray berlari mendekat ke arah Arnold, saat papa dari gadis yang dicintainya itu terus memukul diri sendiri sambil menyerapah. Ray tidak pernah melihat Arnold seputus asa ini, hingga mengumamkan kata 'Mati' sebagai jalan keluar.

Tidak ada pilihan lain. Ray harus menyuntikan obat penenang untuk Arnold.

Ray membantu menahan tubuh Arnold supaya tidak terjatuh. Dipapahnya Arnold menuju sofa panjang di depannya. Perlahan lahan Arnold terpejam, setelah dua hari Arnold baru bisa tertidur setelah Ray menyuntikan obat penenang ke tubuhnya.

Ray mengusap wajahnya kasar. Entah kenapa pikirannya sangat buntu untuk saat ini. Hanya karena janjinya untuk menyembuhkan Aquila, Ray terus berusaha walaupun tidak ada usahanya yang mebuahkan hasil.

[END] Pshycopath RomanceWhere stories live. Discover now