31. Teman?

410 98 125
                                    

Satu-satu, aku sayang mama ...
Dua-dua, mama sudah mati!
Tiga-tiga, kamu juga harus mati!

Sepuluh menit Charlotte meraung-raung histeris. Wajahnya dipenuhi darah dan air mata.

Bekas sayatan dan goresan pisau tajam Aquila membuat kulit di wajah Charlotte tampak menganga memuntahkan darah segar dan kental.

Sudah sepuluh menit lamanya Aquila bermain-main dengan pisau.

"Ampun! Ampun! Maafin gue, La!"

Mungkin sudah ratusan kali Charlotte mengulangi tiga kata yang sama. Bibir kering Charlotte perlahan mengecap darah yang mengalir ke dalam mulutnya untuk meredakan dahaga.

Manis dan anyir. Tiga kata yang menyimpulkan apa yang dirasakan Charlotte saat ini.

Aquila tidak merasakan sedikitpun rasa iba di hatinya. Matanya dipenuhi kabut dendam dan amarah.

Satu hentakan.

Aquila menarik kasar rambut Charlotte hingga tidak sedikit rambut yang berguguran ke lantai, lepas dari kulitnya. Bahkan beberapa bagian kulit kepala Charlotte tampak mengeluarkan darah dan terlihat botak.

ARRRGHHHHHH

"AMPUUUN!"

Charlotte histeris. Kakinya menendang asal dan tangan kosongnya mencakar apapun yang bisa diraihnya.

Charlotte merasa kulit di kepalanya benar-benar akan lepas dari tengkoraknya karena rasa teramat sakit yang dirasakannya saat ini.

Aquila memandang sejenak kondisi naas wajah Charlotte.

Mata yang bengkak dan tampak merah, wajah yang dipenuhi sayatan dan darah, kepala yang hampir botak, dan mulut biru yang gemetar.

'Karya yang indah.'

Satu hal yang terlintas di otak Aquila.

Selagi Aquila berdiam diri, Charlotte beserta semua lukanya terus merangkak dan menyeret tubuhnya menjauhi sang 'monster' dengan susah payah. Bau anyir tercium dimana-mana.

"Mama ... Mama ..," gumam Charlotte ditengah isak tangisnya.

Charlotte melambai-lambaikan tangannya dengan lemas, meminta tolong kepada semua siswa yang menonton.

Seperti dugaan, tidak ada yang merespon.

Hari ini, sungguh tidak ada manusia yang benar-benar seperti manusia.

Seolah semua yang ada di sekelilingnya adalah iblis, terutama satu iblis paling sesat yang menjadi dalang insiden ini.

"Mama ... tolong," lirih Charlotte dengan mulut gemetar dan penuh keputusasaan.

Aquila mendesis. Jengah melihat Charlotte terus bergumam kata 'mama' di depannya.

Aquila mendekat.

Tap

Tap

Tap

Suara ketukan sepatu boots Aquila menggema di kantin yang hening ini.

Satu hentakan kasar, sepatu boots Aquila berhasil menindih dan  menekan kepala Charlotte.

Nghh

"Saat gue gak bisa lihat mama disetiap gue bangun, dan lo masih bisa teriak-teriak minta belas kasih nyokap lo? Lo tau, gue selalu nafsu bunuh cewek manja, gak berguna yang punya orang tua lengkap kayak, lo!"

Nafas Aquila bergemuruh dan saling bersahut-sahutan dengan jeritan ngilu Charlotte.

Charlotte lemas, tak berdaya dengan penyiksaan yang didapatkannya. Tapi, disisi lain Charlotte mulai merasa lelah dengan semua hal yang terjadi antara dirinya dengan Aquila.

Susah payah Charlotte membalikkan tubuh, kemudian mendorong kaki Aquila di kepalanya dengan sisa tenaga yang ia punya.

"BUNUH AJA GUE! BUNUH GUE SEKARANG, SIALAN!" teriak Charlotte membabi buta.

Aquila sempat terkejut saat dirinya terhuyung-huyung ke belakang didorong Charlotte. Tapi, setelah lima detik Aquila kembali sadar dan semakin menguatkan aura hitam dendamnya.

Dengan susah payah Aquila menarik  tangki berisi air mendidih yang sebelumnya ia persiapkan.

Charlotte tertawa.

"Gue! Emang, gue! Gue yang nyuruh Arnold buat siksa kalian! Gue yang potong telinga kiri mama lo waktu itu! Lo tau kenapa?! Supaya Arnold jijik sama kalian! Mama lo itu cacat! Siapa yang mau punya istri bertelinga satu?! Now you see ... semua terjadi seperti yang gue mau!"

Charlotte tertawa keras hingga menyipitkan matanya.

"Lo tau ... Mama lo, cuma bisa nangis waktu gue gunting telinganya. Bodoh, dia bodoh. Hah indah ... Itu salah satu waktu paling menyenangkan dalam hidup gue."

Charlotte menyeringgai sambil terletang menatap langit-langit kantin.

Aquila terdiam.

"Jadi ... gitu," lirih Aquila sambil tertunduk.

Tit ... Tit ... Tit ....

Alarm berbunyi setelah lima belas menit berlangsung.

Aquila menghembuskan napasnya pelan. "Jadi, pada akhirnya gue gak bisa bunuh lo dalam 15 menit."

Charlotte mendongak, menyeringgai menatap Aquila.

Aquila mengangguk paham, matanya menatap menyelidik tepat di kornea hitam Charlotte.

Kakinya ia langkahkan mendekati Charlotte dengan perlahan. Terlihat jelas bahwa tubuh Charlotte bergetar hebat melihat Aquila yang berjarak semakin tipis darinya.

"L-Lo mau apa?! Jauh-jauh dari gue!" seru Charlotte terbata-bata.

Aquila menundukkan kepala, tangannya ia ulurkan menyentuh kepala penuh darah milik Charlotte.

"Hai, teman ...."

Aquila tersenyum manis, sambil membelai lembut kepala Charlotte.

Satu menit Charlotte membeku.

Charlotte menatap Aquila aneh, sosok Aquila tidak akan menggatakan kata teman pada sembarang orang.

Aquia mengangguk menangkap maksud tatapan aneh Charlotte.

"Lo, tau ... sesama psikopat adalah teman."

Charlotte membuka matanya lebar. Tidak percaya dengan apa yang dia dengar saat ini.

"Apa yang dia maksud? Gue? Psikopat?'' Semua pertanyaan berkecamuk menjadi satu di otak Charlotte.

"Psikopat, adalah teman."

Sekali lagi, Aquila mengeluarkan sepatah kata yang mengandung makna diluar akal sehat.

Charlotte tidak peduli dengan apapun yang dimkasud Aquila. Hanya saja, ada satu hal yang membut Charlotte sedikit senang.

"Lo, gak akan bunuh gue?"

"Harusnya gitu, tapi ... gue gak janji."

Aquila melenggang pergi dengan pisaunya meninggalkan Charlotte dengan banyak pertanyaan di otaknya.

"Cewek psikopat gila! Maksud lo apa, hah?! Bunuh aja gue! SIALAN!"

***

Klik bintang di pojok kiri bawah ya :)
Dan ... itu gak merugikan zheyeng.
Jadi jangan ragu, oke!

Hargai author ❤❤

Gimana part 31?

Ada kritik dan saran?
Dengan senang hati saya pertimbangkan :))

[END] Pshycopath RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang