24. Tunggu Dan Rasakan Sensasinya!

753 130 89
                                    

"Apa gadis itu masih hidup?" Pertanyaan itu di ucapkan oleh salah satu anggota agen khusus.

Semua orang di buat tercengang dengan sebuah tubuh tergeletak di samping sebuah makam.

TPU Roen.

Tempat ditemukannya beberapa gadis dalam kondisi mengenaskan, sekaligus tempat singgahnya makam mama Aquila.

"Gila, ini semua gila!" Ray berteriak frustasi, mengusap wajahnya sambil berjongkok.

Kevan menatap sesosok jasad yang tergeletak dengan keadaan mengenaskan. "Mereka semua memiliki kecacatan serupa. Sepuluh jarinya, satu kakinya, dan luka bakar itu. Pembunuhnya pasti orang yang sama! Bajingan gila!"

Kevan menatap makam di sebelah jasad itu, kemudian beralih menatap tag name di seragam jasad itu. dahinya mengerinyit melihatnya.

Sebuah nama yang benar-benar sama dengan yang diukir di batu nisan itu. Dan mungkin, kematiannya juga tepat dengan ukiran di batu nisan itu.

Kevan memalingkan wajahnya, menatap semua orang yang juga memperhatikan satu batu nisan yang sama.

Otak Kevan memutar kembali ingatan akan batu nisan yang juga tertulis nama Aquila berserta waktu kematian. Waktu yang menunjukan tengah malam hari ini.

"Aquila, lo gak akan pergi kan?" Kevan bergumam sambil menatap ngilu jasad di depannya.

Ray yang mulai memahami kondisi ini bergerak gelisah, tubuhnya bergetar hebat.

Dengan kasar, Ray meraih obat penenang di saku jas dokternya. Kemudian meneguk obat itu dalam jumlah banyak.

Ray menatap sekelilingnya, matanya sibuk mencari.

Segera Ray berlari setelah menemukan benda yang di carinya.

Sebuah botol kaca.

Ray memecahkan botol itu hingga membuat beberapa ujungnya menjadi runcing, dengan gemetar Ray menggoreskan sisi tajam itu ke jarinya. Maju dan mundur berulang kali, seolah akan memotong jarinya.

Rintihan pelan di lontarkan Ray.

"Ray, hentikan!" Vero berlari kencang ke arah Ray setelah mendengar suara rintihan.

Vero mendorong tubuh Ray hingga tersungkur, kemudian membuang botol itu sejauh-jauhnya.

"Lo, gila?! Apa-apaan ini?!" Vero berteriak di depan wajah Ray, sambil menarik-narik jas dokter yang Ray kenakan.

Netra hitam Ray menatap kosong wajah marah Vero, nafasnya tersenggal-senggal.

Tapi, tidak sampai disitu saja kebodohan Ray.

Dengan gerakan cepat, Ray mengambil serpihan kaca pecahan botol tadi. Kemudian kembali menggoreskannya dengan bruntal ke jari-jarinya.

"Ray! Cukup! Lo, harus sadar!" Vero menendang tangan Ray, hingga serpihan kacanya terlepas dari genggaman Ray yang kuat.

Saat Ray merangkak ingin mengambilnya lagi, Kevan menghantamkan tinjunya ke wajah Ray. Dan kembali di hantamkannya kepalannya saat Ray masih saja keras kepala.

"WOY, LO ITU DOKTER!"

Ray termenung mendengarnya, tubuhnya terduduk lesu.

Perlahan, Ray menangis sambil mengepalkan kedua tangannya.

"Gu-gue,"

Ray menangis hingga tubuhnya bergetar, kepalan tangannya kian bertambah kuat.

"Gue ... cuma mau Aquila gak ngerasa terpuruk sendiri, gue cuma mau dia bahagia lagi."

[END] Pshycopath Romanceحيث تعيش القصص. اكتشف الآن